Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) di DPR dinilai menjadi langkah sejumlah partai politik untuk mengebiri hak rakyat.
Toyo Santoso Dipo adalah mantan bupati di Kabupaten Kulonprogo, DI Yogyakarta yang memiliki pengalaman istimewa di bidang politik. Bupati dua periode yang populer di kalangan rakyat ini melewati dua sistem berbeda ketika terpilih. Tahun 2001, dia dipilih oleh anggota DPRD dan lima tahun kemudian dia kembali menjadi bupati setelah dipilih langsung oleh rakyat.
Kepada VOA, Toyo bercerita bahwa usaha untuk menjadi bupati dengan sistem yang berbeda itu, relatif sama beratnya. Melakukan pendekatan dengan 40 orang anggota DPRD, dikatakan Toyo tidak lebih mudah daripada mendekati sekitar 300 ribu orang yang memiliki hak pilih di kabupaten tersebut. Namun, berdasar pengalamannya, posisi bupati yang dipilih langsung oleh rakyat lebih kuat secara politis, dibanding ketika dipilih oleh DPRD.
"Mereka (DPRD) lebih kompromis, tidak bisa menekan bupati karena sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Menurut yang saya rasakan seperti itu. Dan rakyat lebih berani menyampaikan (aspirasi) kepada bupati juga, sehingga DPRD itu sangat menghargai pendapat dari eksekutif. Kalau kita ditekan ya kita berani, karena kita kan sama-sama dipilih oleh rakyat," kata Toyo S Dipo.
Selain itu, menurut Toyo, sebagai bupati yang dipilih langsung oleh rakyat, dirinya bisa beradu kekuatan politik secara langsung dengan anggota dewan. Jargon "sama-sama dipilih rakyat" adalah senjata ampuh, terutama jika dalam berbagai perdebatan baik program maupun anggaran, anggota dewan selalu mengklaim sebagai satu-satunya yang mewakili rakyat.
Dalam periode kedua, Toyo merasa lebih leluasa melawan tekanan DPRD dibanding sebelumnya. "Pada waktu dipilih oleh DPRD, itu demikian alotnya untuk mendapatkan pengesahan baik itu APBD, APBD-Perubahan, maupun LPJ. Sering-seringnya pada waktu menyusun APBD itu DPRD juga mengajukan anggaran-anggaran yang menurut DPRD dibutuhkan. Sehingga terjadilah bargaining dalam pembahasan APBD itu," jelasnya.
Sementara itu, Deputi Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri Junaedi mengatakan, RUU Pilkada adalah ancaman besar bagi demokrasi di Indonesia. Memang ada kekhawatiran bahwa Pilkada langsung menyuburkan politik uang, tetapi Pilkada tak langsung tidak hanya berpotensi melahirkan politik uang, tetapi juga transaksi kebijakan.
Politisi di DPRD akan menekan bupati atau gubernur, untuk menyetujui program-program tertentu yang bisa saja tidak membawa manfaat bagi rakyat. Padahal dengan sistem pemilihan langsung, kini telah muncul banyak pemimpin daerah yang populer dan dekat dengan rakyat, karena bisa menyusun program-program pro rakyat dengan lebih leluasa.
"Kalau melihat kecenderungannya sekarang sudah muncul banyak tokoh-tokoh politik, kepala daerah baik itu bupati atau walikota yang memang terlihat mereka memiliki keterikatan yang cukup tinggi dengan pemilih, sehingga mereka bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat," kata Veri Junaedi.
Perludem kini telah menggalang kampanye penolakan atas pembahasan RUU Pilkada secara online, dan telah ada lebih dari 25 ribu tanda tangan dukungan. Di samping itu, ujar Veri, aktivis demokrasi juga tengah terus melakukan pendekatan kepada tokoh agama, tokoh masyarakat, termasuk politisi dan partai politik untuk menggagalkan upaya pengesahan RUU Pilkada tersebut.
Dorongan juga diberikan kepada Presiden SBY agar mewariskan kebijakan lebih pro rakyat, dan kepada Partai Demokrat yang memiliki kursi mayoritas di DPR, setidaknya sampai satu bulan ke depan.