JAKARTA —
Pemerintah akan memberi sanksi diantaranya menghentikan kontrak karya bagi perusahaan tambang di Indonesia yang tidak memenuhi kewajiban membangun smelter hingga akhir 2014, menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Kewajiban membangun smelter tertuang dalam Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba, diantaranya mengatur ekspor bahan tambang yang belum dimurnikan dan larangan bagi perusahaan tambang di Indonesia untuk mengekspor bahan tambang mentah mulai Januari 2014.
Pengamat pertambangan dari Institut Teknologi Bandung, Irwandy Arif mengatakan, upaya pemerintah akan menindak tegas perusahaan tambang yang tidak juga berusaha membangun smelter, merupakan langkah tepat.
Menurutnya, jika smelter dibangun di Indonesia, pengolahan dan pemurnian mineral dapat dilakukan di dalam negeri dan membuka lapangan pekerjaan baru.
“Batu bara, nikel, aluminium itu semuanya kebanyakan antara lain itu dibeli oleh China. Saat ini, walaupun itu misalnya batubara mereka punya cadangan yang besar tetapi 100 persen untuk dalam negeri malah mereka juga masih mengimpor. Pertambangan Indonesia di semua pulau sebenarnya sudah hampir terkapling-kapling semua, sudah ada yang punya semua,” ujarnya, Kamis (21/11).
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik di mengatakan Rabu bahwa meski pemerintah akan menindak tegas perusahaan tambang yang belum menunjukkan niatnya membangun smelter, pemerintah juga akan memberikan insentif untuk pengusaha pertambangan yang koperatif.
“Kalau yang tidak membangun ada penalti, maka yang membangun harus ada insentif. Apa bentuknya kita siapkan,” ujarnya.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi, Thamrin Sihite mengatakan, meski belum memiliki anggaran untuk membangun smelter, minimal para pengusaha pertambangan menunjukkan niatnya membangun smelter.
“Misalkan mereka sudah ada kerja samanya dengan smelting, nah kita lihat kerja samanya. Tapi bukan berarti konsep saja, artinya dia betul-betul menyatakan kepada pemerintah tiga tahun ke depan saya akan melakukan pengolahan pemurnian,” ujarnya.
Dalam Undang-Undang Minerba ditegaskan pembangunan smelter selambat-lambatnya dilakukan pada 12 Januari 2014. Alasan utama ketetapan tersebut diantaranya karena ekspor bijih mineral yang terus meningkat sejak 2008, namun tidak memicu perkembangan sektor hilir pertambangan.
Menurut catatan pemerintah, 158 perusahaan pertambangan sudah mengajukan rencana membangun smelter, 28 perusahaan diantaranya siap membangun, dan 15 perusahaan optimistis selesai membangun smelter sebelum 2015.
Pemerintah mengatakan sangat memahami kebutuhan anggaran sekitar US$1,5 milyar dan waktu sekitar empat tahun untuk membangun smelter.
Untuk itu pemerintah menyarankan para pengusaha pertambangan bekerja sama membangun smelter agar lebih ringan. Para pengusaha pertambangan ditambahkan pemerintah juga dapat mengajukan pinjaman dari perbankan asing dan nasional untuk membangun smelter.
Kewajiban membangun smelter tertuang dalam Undang-Undang No. 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara atau Minerba, diantaranya mengatur ekspor bahan tambang yang belum dimurnikan dan larangan bagi perusahaan tambang di Indonesia untuk mengekspor bahan tambang mentah mulai Januari 2014.
Pengamat pertambangan dari Institut Teknologi Bandung, Irwandy Arif mengatakan, upaya pemerintah akan menindak tegas perusahaan tambang yang tidak juga berusaha membangun smelter, merupakan langkah tepat.
Menurutnya, jika smelter dibangun di Indonesia, pengolahan dan pemurnian mineral dapat dilakukan di dalam negeri dan membuka lapangan pekerjaan baru.
“Batu bara, nikel, aluminium itu semuanya kebanyakan antara lain itu dibeli oleh China. Saat ini, walaupun itu misalnya batubara mereka punya cadangan yang besar tetapi 100 persen untuk dalam negeri malah mereka juga masih mengimpor. Pertambangan Indonesia di semua pulau sebenarnya sudah hampir terkapling-kapling semua, sudah ada yang punya semua,” ujarnya, Kamis (21/11).
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik di mengatakan Rabu bahwa meski pemerintah akan menindak tegas perusahaan tambang yang belum menunjukkan niatnya membangun smelter, pemerintah juga akan memberikan insentif untuk pengusaha pertambangan yang koperatif.
“Kalau yang tidak membangun ada penalti, maka yang membangun harus ada insentif. Apa bentuknya kita siapkan,” ujarnya.
Direktur Jenderal Minerba Kementerian Energi, Thamrin Sihite mengatakan, meski belum memiliki anggaran untuk membangun smelter, minimal para pengusaha pertambangan menunjukkan niatnya membangun smelter.
“Misalkan mereka sudah ada kerja samanya dengan smelting, nah kita lihat kerja samanya. Tapi bukan berarti konsep saja, artinya dia betul-betul menyatakan kepada pemerintah tiga tahun ke depan saya akan melakukan pengolahan pemurnian,” ujarnya.
Dalam Undang-Undang Minerba ditegaskan pembangunan smelter selambat-lambatnya dilakukan pada 12 Januari 2014. Alasan utama ketetapan tersebut diantaranya karena ekspor bijih mineral yang terus meningkat sejak 2008, namun tidak memicu perkembangan sektor hilir pertambangan.
Menurut catatan pemerintah, 158 perusahaan pertambangan sudah mengajukan rencana membangun smelter, 28 perusahaan diantaranya siap membangun, dan 15 perusahaan optimistis selesai membangun smelter sebelum 2015.
Pemerintah mengatakan sangat memahami kebutuhan anggaran sekitar US$1,5 milyar dan waktu sekitar empat tahun untuk membangun smelter.
Untuk itu pemerintah menyarankan para pengusaha pertambangan bekerja sama membangun smelter agar lebih ringan. Para pengusaha pertambangan ditambahkan pemerintah juga dapat mengajukan pinjaman dari perbankan asing dan nasional untuk membangun smelter.