JAKARTA —
Runtuhnya terowongan yang menewaskan sejumlah pegawai di tambang milik Freeport McMoRan Copper and Gold di Papua tujuh minggu lalu seharusnya tidak menunda pembicaraan mengenai kontrak dengan perusahaan AS tersebut, menurut seorang pejabat pemerintah.
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan ia berharap kesepakatan akan dicapai sesegera mungkin.
Pembahasan kontrak antara Freeport Indonesia dan pemerintah ditunda setelah wilayah pelatihan dalam sebuah terowongan runtuh pada 14 Mei, menewaskan 28 orang di tambang tembaga terbesar kedua di dunia itu di Papua Barat.
“Peristiwa yang terjadi sangat tragis, namun Indonesia perlu menyadari ke mana kita harus melangkah maju supaya relevan dalam ekonomi dunia,” ujar Gita.
“Kesepakatan perlu segera dicapai sesegera mungkin karena hal ini akan mencerminkan keinginan baik Freeport maupun pemerintah Indonesia.”
Ketika ditanya waktu ideal untuk mencapai kesepakatan, Gita mengatakan sesegera mungkin.
Pertambangan terbuka (open-pit mining) di tambang Grasberg milik Freeport akan berakhir pada 2016, hanya lima tahun sebelum kontrak pertambangan saat ini berakhir.
Freeport memperkirakan perlu biaya sekitar US$15 miliar untuk mengubah kompleks tersebut menjadi tambang bawah tanah yang sangat luas, sebuah investasi yang hanya logis jika perusahaan tersebut memiliki kontrak baru dengan pemerintah Indonesia untuk periode setelah 2021.
Negosiasi kembali kontrak tersebut telah berlangsung lebih dari setahun, karena pemerintah menginginkan pembayaran royalti yang lebih besar, komitmen untuk pemrosesan domestik dan divestasi lebih besar oleh perusahaan tambang asing.
Freeport saat ini memiliki 90,64 persen Freeport Indonesia, sementara pemerintah Indonesia memiliki sekitar 9 persen.
“Situasi mengarah ke arah yang benar terkait distribusi royalti,” ujar Gita, yang termasuk dalam tim negosiasi yang dipimpin Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa.
“Ada satu dua hal yang mungkin tertunda, salah satunya adalah sampai mana mereka akan terbuka pikirannya mengenai pembangunan smelter.”
Tahun lalu, pemerintah Indonesia meminta semua perusahaan tambang untuk menyerahkan rencana pembangunan kilang atau smelter sebelum berlakunya larangan ekspor bahan mentah mineral pada Januari 2014.
Freeport secara konsisten mengatakan bahwa mereka bersedia memasok smelter tembaga baru di Indonesia dengan konsentrat tembaga mentah, namun enggan untuk membangun operasi smelter sendiri.
Pejabat pemerintah Indonesia terlihat melunak dari sikap awal yang kaku mengenai kebijakan tersebut dalam beberapa bulan terakhir, namun tetap berkomitmen untuk menambah nilai sumber daya alam tersebut.
Freeport saat ini membayar royalti untuk tembaga dengan kisaran dari 1,5 persen sampai 3,5 persen dan persentase tetap sebesar 1 persen untuk emas dan perak.
Dalam sebuah acara baru-baru ini di Jakarta, Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik Soetjipto mengatakan bahwa perusahaan yang berbasis di Arizona itu bersedia meningkatkan royalti tembaga menjadi 4 persen, emas 3,75 persen dan perak 3,25 persen.
Perusahaan tersebut, yang diperkirakan menyumbangkan sekitar $1 miliar untuk ekonomi Indonesia tahun lalu, telah mengindikasikan bahwa mereka dapat menjual sahamnya di Bursa Efek Indonesia dan menawarkan pemerintah 9,35 persen saham lagi.
Freeport menandatangani kontrak 30 tahun untuk menambang di Grasberg pada 1991. Saat itu mereka berurusan dengan pemerintah pusat, namun sekarang harus menghadapi pemerintah daerah juga.
Kecelakaan pada Mei akan berpengaruh pada para legislator, yang akan mengawasi secara dekat negosiasi-negosiasi yang terjadi dan perlu dikonsultasikan sebelum kontrak baru tersebut ditandatangani oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Indonesia tidak sama dengan 40 tahun lalu,” ujar Satya Widya Yudha, dari komisi energi dan sumber daya alam Dewan Perwakilan Rakyat.
“Kami harus memperlakukan para investor secara adil, namun negara ini telah berubah. Freeport harus menjawab semua pertanyaan tentang kecelakaan yang telah terjadi. Mereka harus membuktikan jika mereka ingin tinggal lebih lama dan bahwa mereka peduli keselamatan.” (Reuters/Michael Taylor)
Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengatakan ia berharap kesepakatan akan dicapai sesegera mungkin.
Pembahasan kontrak antara Freeport Indonesia dan pemerintah ditunda setelah wilayah pelatihan dalam sebuah terowongan runtuh pada 14 Mei, menewaskan 28 orang di tambang tembaga terbesar kedua di dunia itu di Papua Barat.
“Peristiwa yang terjadi sangat tragis, namun Indonesia perlu menyadari ke mana kita harus melangkah maju supaya relevan dalam ekonomi dunia,” ujar Gita.
“Kesepakatan perlu segera dicapai sesegera mungkin karena hal ini akan mencerminkan keinginan baik Freeport maupun pemerintah Indonesia.”
Ketika ditanya waktu ideal untuk mencapai kesepakatan, Gita mengatakan sesegera mungkin.
Pertambangan terbuka (open-pit mining) di tambang Grasberg milik Freeport akan berakhir pada 2016, hanya lima tahun sebelum kontrak pertambangan saat ini berakhir.
Freeport memperkirakan perlu biaya sekitar US$15 miliar untuk mengubah kompleks tersebut menjadi tambang bawah tanah yang sangat luas, sebuah investasi yang hanya logis jika perusahaan tersebut memiliki kontrak baru dengan pemerintah Indonesia untuk periode setelah 2021.
Negosiasi kembali kontrak tersebut telah berlangsung lebih dari setahun, karena pemerintah menginginkan pembayaran royalti yang lebih besar, komitmen untuk pemrosesan domestik dan divestasi lebih besar oleh perusahaan tambang asing.
Freeport saat ini memiliki 90,64 persen Freeport Indonesia, sementara pemerintah Indonesia memiliki sekitar 9 persen.
“Situasi mengarah ke arah yang benar terkait distribusi royalti,” ujar Gita, yang termasuk dalam tim negosiasi yang dipimpin Menteri Koordinator bidang Perekonomian Hatta Rajasa.
“Ada satu dua hal yang mungkin tertunda, salah satunya adalah sampai mana mereka akan terbuka pikirannya mengenai pembangunan smelter.”
Tahun lalu, pemerintah Indonesia meminta semua perusahaan tambang untuk menyerahkan rencana pembangunan kilang atau smelter sebelum berlakunya larangan ekspor bahan mentah mineral pada Januari 2014.
Freeport secara konsisten mengatakan bahwa mereka bersedia memasok smelter tembaga baru di Indonesia dengan konsentrat tembaga mentah, namun enggan untuk membangun operasi smelter sendiri.
Pejabat pemerintah Indonesia terlihat melunak dari sikap awal yang kaku mengenai kebijakan tersebut dalam beberapa bulan terakhir, namun tetap berkomitmen untuk menambah nilai sumber daya alam tersebut.
Freeport saat ini membayar royalti untuk tembaga dengan kisaran dari 1,5 persen sampai 3,5 persen dan persentase tetap sebesar 1 persen untuk emas dan perak.
Dalam sebuah acara baru-baru ini di Jakarta, Presiden Direktur Freeport Indonesia Rozik Soetjipto mengatakan bahwa perusahaan yang berbasis di Arizona itu bersedia meningkatkan royalti tembaga menjadi 4 persen, emas 3,75 persen dan perak 3,25 persen.
Perusahaan tersebut, yang diperkirakan menyumbangkan sekitar $1 miliar untuk ekonomi Indonesia tahun lalu, telah mengindikasikan bahwa mereka dapat menjual sahamnya di Bursa Efek Indonesia dan menawarkan pemerintah 9,35 persen saham lagi.
Freeport menandatangani kontrak 30 tahun untuk menambang di Grasberg pada 1991. Saat itu mereka berurusan dengan pemerintah pusat, namun sekarang harus menghadapi pemerintah daerah juga.
Kecelakaan pada Mei akan berpengaruh pada para legislator, yang akan mengawasi secara dekat negosiasi-negosiasi yang terjadi dan perlu dikonsultasikan sebelum kontrak baru tersebut ditandatangani oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Indonesia tidak sama dengan 40 tahun lalu,” ujar Satya Widya Yudha, dari komisi energi dan sumber daya alam Dewan Perwakilan Rakyat.
“Kami harus memperlakukan para investor secara adil, namun negara ini telah berubah. Freeport harus menjawab semua pertanyaan tentang kecelakaan yang telah terjadi. Mereka harus membuktikan jika mereka ingin tinggal lebih lama dan bahwa mereka peduli keselamatan.” (Reuters/Michael Taylor)