Nama-nama yang terpilih antara lain Ledia Hanifa (PKS), Rachel Maryam (Gerindra), Rieke Dyah Pitaloka (PDI Perjuangan), dan Nurul Arifin (Golkar). Jumlah 28 caleg perempuan yang terpilih tahun ini naik dibanding periode 2014-2019 yang mencapai 20 orang.
Kandidat doktor di University of Western Australia, Ella Prihatini, yang meneliti representasi perempuan dalam politik, mengatakan calon-calon ini memang punya potensi menang yang tinggi karena mempunyai latar belakang yang mendukung elektabilitas.
“Misalnya keartisan. Juga garis keluarga yang masih erat dengan elit-elit partai atau para orang tua yang menjadikan putra-putrinya sebagai penerus politik,” ujarnya yang juga merupakan teaching fellow di UWA.
Peningkatan jumlah perempuan ini menunjukkan indikasi baik. Namun perlu dilihat juga apakah anggota legislatif yang terpilih bisa menyuarakan isu perempuan.
“Kalau kita mengejar keterwakilan deskriptif mungkin ini hal yang baik. Tapi kalau kita mau lihat (secara) substantif, ini harus diuji lagi, apakah anggota legislatif perempuan ini memang mewakili kepentingan perempuan di Parlemen atau tidak?,” tambahnya.
Faktor Elektabilitas Caleg Perempuan Tetap Sama
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, nama-nama yang lolos di Jawa Barat memiliki latar belakang serupa dengan periode sebelumnya: kader partai, anggota DPR petahana, atau punya hubungan dengan elit parpol.
Mahardika, peneliti Perludem, mengatakan tiga hal itu tetap mendominasi karena Indonesia mengadopsi sistem proporsional terbuka. Akibatnya, parpol mencalonkan orang karena unsur elektabilitas.
“Elektabilitas caleg ini sangat ditentukan oleh popularitas, dukungan keuangan, dan punya hubungan personal dengan elit politik. Sehingga dia punya jalan yang lebih lebar untuk terpilih,” ujarnya ketika dihubungi VOA.
Dari 28 caleg perempuan yang terpilih, Perludem mencatat, 57 persen merupakan pengurus partai, 53 persen petahana, dan 25 persen kerabat elit partai. Sebagai pengurus partai, ujar Mahardika, para perempuan ini tercatat jadi wasekjen, ketua DPP, atau pengurus organisasi sayap partai—dan ini merupakan kabar baik.
“Dia tidak hanya sekedar mempunyai kekerabatan dengan elit politik, lalu dicalonkan. Tetapi sebelum itu dia telah berkiprah di internal partai dengan menempati posisi-posisi strategis di kepengurusan,” imbuhnya.
Bagaimana Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di Parlemen?
Pemerintah telah mewajibkan 30 persen kepengurusan satu partai politik diduduki perempuan sebagai syarat partai tersebut ikut pemilu. Namun ini baru diwajibkan di level kepengurusan pusat. Mahardika mendorong kebijakan itu diteruskan ke level provinsi dan kota/kabupaten.
“Itu bisa membuka kesempatan untuk perempuan belajar di dalam internal partai politik dan memberi peluang bagi perempuan dicalonkan," ujarnya.
Dengan pengalaman politik, kata Mahardika, perempuan berpotensi duduk di daftar caleg nomor 1 atau 2 yang lebih cenderung terpilih.
"Tidak hanya dicalonkan, tapi juga menempati nomor urut atas. Sehingga peluang keterpilihannya lebih besar,” pungkasnya.
Sementara Ella Prihatini mencatat, mayoritas caleg perempuan duduk di posisi nomor tiga.
“Di tahun 2019 ini perempuan mayoritas duduk di posisi nomor tiga. Jadi tidak ada partai yang menempatkan caleg perempuan di posisi nomor satu secara mencolok atau banyak. Karena mungkin ada resistensi juga di caleg laki-laki,” pungkasnya.
Karena itu, dia mengusulkan kuota 30 persen caleg perempuan diterapkan pada aspek nomor urut. Artinya, partai wajib mengajukan caleg perempuan di nomor urut 1 di 30 persen dapil se-Indonesia. [rt/em]