"Jakarta adalah satu dari sedikit tempat di Indonesia yang merasakan hadirnya penjajah dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad lamanya. Rakyat pribumi ditindas dan dikalahkan oleh kolonialisme. Kini telah merdeka, saatnya kita jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai terjadi di Jakarta ini apa yang dituliskan dalam pepatah Madura, “Itik se atellor, ajam se ngeremme.” Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain."
Demikian salah satu bagian pernyataan Anies Baswedan, gubernur baru DKI Jakarta, dalam acara Selamatan Jakarta di Balai Kota, Senin sore (16/10).
Profesor Tom Pepinsky di Universitas Cornell menyesalkan pernyataan yang disampaikan pada saat yang sedianya menjadi momentum bagi gubernur baru untuk merangkul semua pihak pasca pertarungan sengit Pilkada Jakarta April lalu.
"Sebagian pernyataan dalam pidato itu tidak layak. Ketika saya membaca teks pidato yang Anda kirimkan, kelihatannya memang presidensiil dan ditujukan pada warga Indonesia, bukan saja warga Jakarta. Ia menggunakan sejumlah ungkapan dalam bahasa Batak, Aceh, Banjar dan banyak lainnya. Tetapi ia juga menggunakan isu SARA untuk menggambarkan suatu Jakarta yang lebih memfokuskan kepentingan pribumi dibanding orang keturunan Tionghoa. Ini strategi kampanye yang akan dilanjutkan pendukung Anies. Saya kira pidato ini dirancang untuk didengar oleh semua kalangan di Indonesia menjelang proses menuju kursi presiden tahun 2019," jelas Tom.
Hal senada disampaikan Dr. Robertus Robet, sosiolog di Universitas Negeri Jakarta yang menyesalkan penggunaan terminologi yang bahkan sejak era reformasi tahun 1998 disarankan tidak dipergunakan lagi.
"Sebenarnya tidak tepat karena pertama, secara historis dikotomi pribumi dan non-pribumi sudah dihapus dalam vocabulary Indonesia seiring munculnya kesadaran historis baru yang mau menekankan pada asal usul Indonesia. Siapa sii orang Indonesia asli dan murni. Kesadaran historis bahwa orang Indonesia itu adalah suatu bangsa yang terbentuk dari persilangan budaya, muncul setelah reformasi, sehingga dikotomi pribumi dan non-pribumi menjadi tidak relevan dalam pemahaman sejarah baru. Kedua, juga tidak tepat karena janji Anies adalah setelah masa Pilkada yang sedemikian keras dan membelah Jakarta sedemikian ekstrem, lalu dengan luka-luka sosial yang masih ada maka tugas gubernur baru memikirkan kembali upaya memulihkan hal ini lewat kebijakan yang lebih inklusif dll. Nah pernyataan semacam ini, yang menekankan istilah-istilah lama dalam politik Indonesia, sungguh tidak tepat dan tidak sesuai dengan tujuan-tujuan Jakarta sebagai kota untuk semua," jelas Robertus.
Instruksi Presiden No.26/1998 yang diberlakukan mulai 16 September 1998 menyerukan penghentian penggunaan istilah pribumi dan non pribumi "dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, atau pun pelaksanaan kegiatan penyelengaraan pemerintahan."
Robertus Robet: Anies Tipe Pemimpin Demagogi
Robertus Robet secara terang-terangan menyebut Anies Baswedan sebagai tipe pemimpin demagogi atau pemimpin yang mengeksploitasi prasangka untuk meraih popularitas.
"Ini ciri demagogi. Model tuturan politik yang lebih menekankan pada pembangunan sentimen untuk memobilisasi pikiran orang banyak. Artinya jika dasarnya demagogi, maka yang dipikirkan bukan upaya konkret untuk menyelesaikan persoalan mendasar kehidupan orang banyak. Jika memang demagogi, maka yang disasar adalah mobilisasi politik berdasarkan sentimen tertentu. Mengapa? Karena kaum demagog memiliki kelemahan untuk menyelesaikan persoalan secara konkret dan ditutupi dengan demagogi. Dalam pelantikan itu di luar gedung ada dukungan-dukungan massa yang menuliskan tentang pribumi dan non pribumi. Jadi lewat pidato itu seakan ingin menjawab tuntutan konstituen lamanya, dan ia perlu "merawat" mereka yang artikulasi politiknya dibungkus dengan konsep pribumi dan non-pribumi. Tujuan "merawat" itu apa, itu belum tahu," papar Robertus.
Di luar gedung Balai Kota yang menjadi tempat penyelenggaraan "Selamatan Jakarta" memang terdapat beberapa poster dan spanduk putih berukuran besar dengan pesan-pesan ekstrim, antara lain "Pelantikan Anies-Sandi: Kebangkitan Pribumi Muslim".
Pepinsky Nilai Pernyataan Anies Mengkhawatirkan
Prof. Tom Pepinsky menolak penilaian bahwa Anies adalah ciri pemimpin demagogi, meskipun mengatakan pernyataan-pernyataan gubernur baru itu mengkhawatirkan.
"Ini pernyataan yang sangat keras. Meskipun demikian ketika saya membaca pernyataan Anies, saya tidak bisa memikirkan hal lain selain perlunya semakin meningkatkan diskusi tentang pentingnya hak-hak warga asli dan mesti disampaikan dengan cara yang menarik mereka yang selama ini merasa tertinggal. Saya kira tidak ada indikasi Anies merupakan pemimpin demagog, tetapi saya tidak heran jika pernyataannya diasumsikan demikian. Yang paling mengejutkan saya adalah Anies sendiri khan keturunan Arab. Ia mengklaim berbicara atas nama warga pribumi, padahal ia sendiri keturunan Arab. Di era demokrasi, kita sampai pada keyakinan bahwa warga Tionghoa jauh lebih mendapat perlindungan dibanding pada era Orde Baru. Tetapi setelah melihat hal ini, saya jadi khawatir. Pernyataan-pernyataan Anies mengkhawatirkan," ujarnya.
Tom Pepinsky mengkritisi "dua wajah" yang coba ditampilkan Anies Baswedan.
"Saya kira ia mencoba memunculkan dua wajah. Wajah yang bersifat Islami dan wajah yang bersifat modern. Saya kira dalam jangka panjang hal ini tidak akan berhasil. Tidak mungkin Anies bisa mempertahankan posisi sebagai pluralis jika pada saat bersamaan ia juga bicara tentang perlunya melawan kolonialisme dan bahwa pribumi tidak boleh tertinggal. (VOA: Apakah boleh seorang pemimpin memiliki dua wajah?) Tentu saja tidak. Mungkin saat ini ia merasa ia baik demi masa depan politiknya dan mungkin saja ia benar, tetapi ini jelas hanya demi kepentingan politiknya semata, bukan kepentingan warga Jakarta," tambahnya.
Dalam pidato lima halaman itu Anies Baswedan juga menyampaikan perwujudan Pancasila, meskipun tidak merinci dengan spesifik dalam bentuk program kerja. [em/al/jm]