LONDON —
Perdana Menteri Malaysia Najib Razak membela putusan sebuah pengadilan di negaranya yang melarang sebuah koran kelompok Kristen menggunakan kata “Allah” untuk mengacu pada Tuhan, dengan mengatakan bahwa hal itu dapat membantu menjamin stabilitas.
Keputusan pengadilan tersebut menimbulkan ketegangan dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak minoritas di negara mayoritas Muslim tersebut.
Umat Kristiani telah menggunakan kata tersebut selama berabad-abad, namun tiga hakim Muslim memutuskan bahwa penggunaan kata itu oleh The Herald dalam edisi bahasa Melayu dapat “menimbulkan kebingungan dalam masyarakat.”
“Orang-orang harus paham bahwa ada sensitivitas-sensitivitas di Malaysia, namun yang penting adalah keamanan publik dan harmoni nasional,” ujar Najib pada kantor berita Reuters, Kamis (31/10).
Ia ingin menghilangkan kebingunan atas cakupan putusan tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu hanya terkait surat kabar tersebut dan tidak akan menghentikan penggunaan kata tersebut di wilayah-wilayah yang didominasi umat Kristen.
“Putusan pengadilan hanya berlaku pada koran The Herald, yang memiliki sirkulasi luas, dan tidak berlaku untuk situasi di Sabah dan Sarawak. Jadi apa yang kami coba lakukan secara obyektif di atas itu semua adalah untuk menjamin stabilitas dan harmoni nasional,” ujarnya, di sela-sela acara Forum Ekonomi Islamis Dunia di London.
Najib dalam bulan-bulan terakhir ini mencoba menguatkan dukungan dari kelompok Melayu Muslim yang menjadi mayoritas.
Pemerintahannya telah memperkuat undang-undang keamanan dan kebijakan afirmasi bagi etnis Melayu, membalikkan reformasi-reformasi liberal yang ditujukan bagi masyarakat multietnis yang lebih luas.
Najib memperkirakan langkah-langkah itu akan memukul sentimen investor, dengan mengatakan bahwa pemerintahnya tengah memperkuat hubungan dengan investor asing dan lokal.
Ia berjanji akan mengawasi situasi secara cermat untuk menjamin tidak adanya pelanggaran hak asasi manusia. (Reuters/Brenda Goh dan Shadi Bushra)
Keputusan pengadilan tersebut menimbulkan ketegangan dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan mengenai hak-hak minoritas di negara mayoritas Muslim tersebut.
Umat Kristiani telah menggunakan kata tersebut selama berabad-abad, namun tiga hakim Muslim memutuskan bahwa penggunaan kata itu oleh The Herald dalam edisi bahasa Melayu dapat “menimbulkan kebingungan dalam masyarakat.”
“Orang-orang harus paham bahwa ada sensitivitas-sensitivitas di Malaysia, namun yang penting adalah keamanan publik dan harmoni nasional,” ujar Najib pada kantor berita Reuters, Kamis (31/10).
Ia ingin menghilangkan kebingunan atas cakupan putusan tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu hanya terkait surat kabar tersebut dan tidak akan menghentikan penggunaan kata tersebut di wilayah-wilayah yang didominasi umat Kristen.
“Putusan pengadilan hanya berlaku pada koran The Herald, yang memiliki sirkulasi luas, dan tidak berlaku untuk situasi di Sabah dan Sarawak. Jadi apa yang kami coba lakukan secara obyektif di atas itu semua adalah untuk menjamin stabilitas dan harmoni nasional,” ujarnya, di sela-sela acara Forum Ekonomi Islamis Dunia di London.
Najib dalam bulan-bulan terakhir ini mencoba menguatkan dukungan dari kelompok Melayu Muslim yang menjadi mayoritas.
Pemerintahannya telah memperkuat undang-undang keamanan dan kebijakan afirmasi bagi etnis Melayu, membalikkan reformasi-reformasi liberal yang ditujukan bagi masyarakat multietnis yang lebih luas.
Najib memperkirakan langkah-langkah itu akan memukul sentimen investor, dengan mengatakan bahwa pemerintahnya tengah memperkuat hubungan dengan investor asing dan lokal.
Ia berjanji akan mengawasi situasi secara cermat untuk menjamin tidak adanya pelanggaran hak asasi manusia. (Reuters/Brenda Goh dan Shadi Bushra)