Pengumuman bahwa Mesir akhirnya memiliki pemerintahan baru muncul setelah tawar-menawar posisi selama beberapa hari dan perselisihan pada menit-menit terakhir. Perdana Menteri terpilih, Hisyam Qandil, mengajak bangsanya untuk bekerja sama.
Hisyam mengatakan bahwa Revolusi Mesir tanggal 25 Januari yang menggulingkan presiden Hosni Mubarak, berhasil karena semua orang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama. Banyak dari tujuan revolusi itu, katanya, belum dicapai seperti kesejahteraan, kebebasan dan sosial. Keadilan sosial, tekannya, memerlukan kerja keras dan kerjasama.
Melihat susunan Kabinet, pengecam di media Mesir mengeluhkan bahwa pemerintahan baru itu berisi beberapa "nama besar" kawakan dengan banyak pengalaman. Analis juga mencatat bahwa Mesir sedang menghadapi krisis ekonomi, serta masalah struktural yang serius terkait pasokan listrik, makanan, bahan bakar dan air.
Perdana Menteri Qandil meminta bangsanya untuk memberikan kesempatan pada pemerintah barunya.
Dia mengatakan bagus jika ditetapkan tenggat 100-hari bagi kementerian tertentu untuk mencapai tujuan jangka pendek. Tujuan tersebut, katanya, dirancang untuk membuat warga merasakan perbaikan, bukannya mencari solusi permanen, yang memerlukan lebih banyak tindakan, dana dan waktu.
Banyak anggota pemerintahan baru yang tidak dikenal, kecuali Menteri Pertahanan kawakan Mohamed Hussein Tantawi.
Marsekal Tantawi sering bersitegang dengan presiden yang baru terpilih, Mohamed Morsi, dan membatasi kekuatannya dalam beberapa bidang utama. Konflik laten antara mereka yang menginginkan rezim politik sekuler dan Ikhwanul Muslimin telah menimbulkan kekacauan selama masa transisi yang rumit ke demokrasi.
Pengamat Khattar Abou Diab, yang mengajar ilmu politik di Universitas Paris, mengatakan bahwa pemerintah baru itu adalah pemerintahan transisi dan masih belum diketahui pihak mana yang akhirnya akan menang.
Menurut Khattar, Ikhwanul Muslimin untuk saat ini belum berhasil dalam meraih kontrol atas faksi-faksi paling penting dari negara itu, termasuk tentara, kementerian luar negeri, atau kementerian kehakiman. Tapi, menurutnya, itu masih bisa berubah karena pemerintah baru hanya pemerintah transisi, meskipun bisa bertahan lama.
Abou Diab juga mengatakan bahwa pemerintah baru itu adalah kekecewaan besar bagi kaum muda yang memicu revolusi terhadap rezim sebelumnya, dan juga bagi banyak partai politik sekuler. Sebagian, katanya, khawatir bahwa Ikhwanul Muslimin akan berupaya mengganti kepemimpinan lama dengan mereka sendiri.
Presiden Morsi telah bersumpah untuk membuka pemerintahnya bagi perempuan, minoritas dan partai politik saingan. Tapi, para pengamat mencatat bahwa Kabinet baru itu hanya berisi sedikit perwakilan bagi perempuan dan Kristiani.
Hisyam mengatakan bahwa Revolusi Mesir tanggal 25 Januari yang menggulingkan presiden Hosni Mubarak, berhasil karena semua orang bekerja sama untuk mencapai tujuan yang sama. Banyak dari tujuan revolusi itu, katanya, belum dicapai seperti kesejahteraan, kebebasan dan sosial. Keadilan sosial, tekannya, memerlukan kerja keras dan kerjasama.
Melihat susunan Kabinet, pengecam di media Mesir mengeluhkan bahwa pemerintahan baru itu berisi beberapa "nama besar" kawakan dengan banyak pengalaman. Analis juga mencatat bahwa Mesir sedang menghadapi krisis ekonomi, serta masalah struktural yang serius terkait pasokan listrik, makanan, bahan bakar dan air.
Perdana Menteri Qandil meminta bangsanya untuk memberikan kesempatan pada pemerintah barunya.
Dia mengatakan bagus jika ditetapkan tenggat 100-hari bagi kementerian tertentu untuk mencapai tujuan jangka pendek. Tujuan tersebut, katanya, dirancang untuk membuat warga merasakan perbaikan, bukannya mencari solusi permanen, yang memerlukan lebih banyak tindakan, dana dan waktu.
Banyak anggota pemerintahan baru yang tidak dikenal, kecuali Menteri Pertahanan kawakan Mohamed Hussein Tantawi.
Marsekal Tantawi sering bersitegang dengan presiden yang baru terpilih, Mohamed Morsi, dan membatasi kekuatannya dalam beberapa bidang utama. Konflik laten antara mereka yang menginginkan rezim politik sekuler dan Ikhwanul Muslimin telah menimbulkan kekacauan selama masa transisi yang rumit ke demokrasi.
Pengamat Khattar Abou Diab, yang mengajar ilmu politik di Universitas Paris, mengatakan bahwa pemerintah baru itu adalah pemerintahan transisi dan masih belum diketahui pihak mana yang akhirnya akan menang.
Menurut Khattar, Ikhwanul Muslimin untuk saat ini belum berhasil dalam meraih kontrol atas faksi-faksi paling penting dari negara itu, termasuk tentara, kementerian luar negeri, atau kementerian kehakiman. Tapi, menurutnya, itu masih bisa berubah karena pemerintah baru hanya pemerintah transisi, meskipun bisa bertahan lama.
Abou Diab juga mengatakan bahwa pemerintah baru itu adalah kekecewaan besar bagi kaum muda yang memicu revolusi terhadap rezim sebelumnya, dan juga bagi banyak partai politik sekuler. Sebagian, katanya, khawatir bahwa Ikhwanul Muslimin akan berupaya mengganti kepemimpinan lama dengan mereka sendiri.
Presiden Morsi telah bersumpah untuk membuka pemerintahnya bagi perempuan, minoritas dan partai politik saingan. Tapi, para pengamat mencatat bahwa Kabinet baru itu hanya berisi sedikit perwakilan bagi perempuan dan Kristiani.