Bulan Oktober setahun yang lalu, di depan diaspora Indonesia di Washington, Amerika Serikat, Presiden Jokowi menjanjikan akan mempercepat pembahasan RUU Dwi Kewarganegaraan, terutama bagi anak hasil perkawinan campur.
Pengangkatan Archandra Tahar sebagai Wakil Menteri ESDM akhir pekan lalu, seolah menjadi pengingat bagi janji itu. Meskipun sebenarnya, ada lebih banyak persoalan terkait status kewarganegaraan, misalnya yang menimpa salah satu anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka), Gloria Natapradja Hamel.
Bulan Agustus lalu, Gloria sempat dibebastugaskan hanya beberapa hari sebelum bertugas, karena diketahui pernah memiliki paspor Perancis. Gloria adalah anak hasil perkawinan campur. Dia akhirnya bertugas dalam penurunan bendera berkat campur tangan presiden.
Prof Dr. Asep Warlan Yusuf, Guru Besar Hukum Universitas Parahyangan, Bandung mengatakan, Indonesia memang seharusnya segera membuat aturan yang jelas mengenai status dwi kewarganegaraan ini. Faktanya, kata Asep Warlan, ada banyak diaspora Indonesia berkewarganeraan asing yang sebenarnya berpotensi untuk dimanfaatkan kelebihannya pada satu waktu tertentu. Namun di sisi lain, status kewarganegaraan juga memerlukan loyalitasnya tunggal. Kelemahan konsep dwi kewarganegaraan, kata Asep Warlan, adalah karena pemegang statusnya terikat pada dua hukum di dua negara berbeda.
Hal-hal itulah menurutnya yang harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah ketika menyusun konsep dwi kewarganegaraan. Bagaimana Indonesia mengaturnya sehingga ada kepastian hukum. Asep Warlan menilai perlu ada perubahan dalam UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, sehingga persoalan dwi kewarganegaraan bisa diatur.
Pemerintah harus menerapkan dasar pemberian status dwi kewarganegaraan dan siapa yang bisa memilikinya. Selain mengatakan bahwa dwi kewarganegaraan membutuhkah regulasi khusus, Asep Warlan menggarisbawahi bahwa persoalan ini harus dibahas secara rasional, dan bisa menjawab pertanyaan apa manfaatnya bagi Indonesia.
Empat prasyarat yang harus terpenuhi menurutnya adalah norma yang jelas dan terukur, motif, pertimbangan teknis, dan penerimaan kedua belah negara.
"Kita prinsipnya menganut sistem kewarganegaraan tunggal. Prinsip dasarnya itu. Tetapi ketika ada orang yang berdwi-kewarganegaraan, pemerintah juga harus mengatur, dimungkinkan, sepanjang misalnya, dia sedang mencari ilmu atau sedang bekerja. Dan jangka waktunya juga harus ditentukan. Jadi diaspora tadi tetap terakomodir dalam UU Kewarganegaraan. Jadi hemat saya, kita tidak seharusnya hanya menganut sistem kewarganegaraan tunggal,” jelas Asep Warlan.
Ibu dari Gloria Natapradja Hamel, Ira Hartini kini sedang mengajukan gugatan pengujian Undang-Undang No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam keterangan kepada media hari Senin (17/10) di Jakarta, Fachmi Bachmid kuasa hukum penggugat mengatakan, pihaknya menggugat pasal 41 undang-undang tersebut. Pasal itu mengatur anak hasil perkawinan campuran yang lahir sebelum 2006 harus mendaftarkan diri ke pemerintah. Fachmi menilai, pasal ini berpotensi menyebabkan diskriminasi. Seharusnya, kata Fachmi, status kewarganegaraan Indonesia itu otomatis diberikan hingga anak yang lahir di Indonesia itu memilih apakah akan mengikuti kewarganegaraan ayah atau ibunya.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Hamonangan Laoly dalam berbagai kesempatan mengatakan, Indonesia cenderung konservatif dalam soal kewarganegaraan. Pemerintah melihat, revisi UU Kewarganegaraan bukan sesuatu yang mendesak saat ini. DPR sendiri sedang meninjau, apakah revisi ini akan masuk dalam program legislasi nasional tahun ini atau tidak. Kemungkinan, belum akan ada perubahan yang mendasar dalam persoalan dwi kewarganegaraan ini, setidaknya sampai akhir tahun.
Pakar Hukum dari Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Nandang Sutrisno Ph.D., bisa memahami bila pemerintah cenderung berhati-hati dalam persoalan dwi kewarganegaraan ini. Kepada VOA dia mengatakan, undang-undang yang ada sekarang sebenarnya sudah memberi peluang kepada presiden untuk membuat kebijakan khusus. Atas dasar pertimbangan tertentu, presiden boleh memberikan status kewarganegaraan secara cepat, dengan mendengar pertimbangan DPR. Langkah itu diambil jika memang pemerintah memandang, seseorang yang berkewarganegaraan asing dibutuhkan perannya oleh negara secara khusus.
Dalam kaitan dwi kewarganegaraan, Nandang Sutrisno mengingatkan bahwa Indonesia belum memiliki sistem pencatatan kependudukan yang baik. Beberapa tahun terakhir, pemerintah menggelar program e-KTP, namun belum selesai sampai saat ini. Jika untuk mengelola data kependudukan warga negara Indonesia saja, pemerintah masih mengalami kendala, tentu kebijakan penerapan dwi kewarganegaraan justru akan menambah persoalan baru.
“Jadi kita harus melihat ini tidak hanya berdasar kepentingan sekelompok orang, tetapi lihatnya dari sudut pandang kepentingan bangsa secara keseluruhan. Mungkin dalam jangka panjang, bisa saja diterapkan, setelah administrasi kependudukan kita tertib. Mungkin sistem dwi kewarganegaraan itu baru bisa diterapkan beberapa tahun ke depan. Tapi kalau sekarang, justru itu berbahaya,” ujar Nandang.
Kemudahan maksimal yang sudah diberikan pemerintah terkait hal ini adalah pemberian izin tinggal hingga 5 tahun tanpa mengurus visa. Desakan diaspora Indonesia dari seluruh dunia mengenai dwi kewarganegaaan, sepertinya membutuhkan proses lebih lama untuk direalisasikan. [ns/al]