JAKARTA —
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Polisi Sutarman di Jakarta Jum'at (21/3) menjelaskan pengiriman paket bom itu dilakukan melalui jasa pengiriman barang.
"Ada pengiriman bom. Dari Surabaya menuju ke Makassar dengan menggunakan jasa pengiriman barang. Seharusnya jasa pengiriman barang ini sudah bisa mendeteksi dengan peralatan yang dimiliki. Ini kan sangat berbahaya," kata Jenderal Polisi Sutarman.
Sutarman menambahkan dari pengungkapan itu, polisi berhasil menangkap tiga orang pelaku pengiriman paket bom itu. Penangkapan itu dilakukan di tiga tempat berbeda.
"Kita ikuti, kita amankan, kita jinakkan bom itu, dan kita bisa tangkap tiga orang pelaku. Di Makassar satu (orang), di Lampung satu dan di Bengkulu satu orang. Kita kemudian telusuri, bom ini sebenarnya akan ditujukan di target-target yang ada di Surabaya. Tapi mungkin karena kesempatannya ga ada, akhirnya dikirim ke Makassar. Jadi Makassar yang menjadi target," lanjutnya.
Sutarman memastikan, dengan penangkapan ini Polri berhasil mencegah adanya aksi teror bom di beberapa tempat. Ia menghimbau agar semua pihak tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengungkapkan pendapat.
"Sepanjang dia masih menggunakan itu (cara-cara teroris), Polri akan melakukan penegakkan hukum. Apapun tindakan yang kita lakukan, saya akan kurangi berbagai bentuk korban sia-sia. Baik pelaku teroris itu sendiri, maupun dari pihak Polri. Tetapi kalau kita sudah menghadapi pelaku teroris yang membawa senjata dan bom tidak mau menyerah dan melakukan perlawanan, membahayakan jiwa petugas dan masyarakat. Kita dengan terpaksa melakukan tindakan tegas," jelas Sutarman.
Sutarman menambahkan, pengungkapan pengiriman bom dari Surabaya ke Makassar terungkap berdasarkan informasi yang didapat kepolisian melalui pengintaian dan deteksi IT. Menurutnya, informasi terakhir menyebutkan, bom tersebut milik dari kelompok teroris pimpinan Santoso yang bermarkas di Poso Sulawesi Tengah.
Sementara itu, peneliti masalah terorisme Solahuddin mengatakan basis militer kelompok teroris Indonesia yang masih aktif adalah daerah Poso Sulawesi Tengah.
"Pasca (perjanjian perdamaian konflik Poso) Malino, Poso itu betul-betul dijadikan daerah tanzim qoidah aminah atau daerah basis. Salah satu daerah dijadikan basis adalah, secara geografis bagus buat gerilya, dan Poso adalah sebuah daerah yang sangat cocok untuk gerilya. Yang kedua, ada dukungan dari masyarakat," kata Solahudin.
Setelah kasus penangkapan besar-besaran kelompok teroris oleh detasemen khusus anti teror mabes polri di wilayah Tanah Runtuh Poso pada 2007, kelompok-kelompok militan seperti Jamaah Islamiyah dan Kayamanya mulai redup setelah penangkapan para tokohnya.
Baru pada 2010 sisa kekuatan yang ada mulai menata organisasi dengan dipimpin oleh Santoso yang saat ini masih buron. Santoso menyatukan kelompok-kelompok militan di luar Poso, dan kemudian kembali membangun pelatihan militer di Poso.
Teror di wilayah Poso seakan tak berkesudahan. Sebelumnya Poso dilanda konflik horizontal pada Desember 1998 dan April hingga Juni 2000. Kemudian pada 2007 Polisi melakukan penangkapan pelaku kerusuhan Poso di wilayah Gebang Rejo dan Kayamanya Poso kota. Dalam peristiwa ini, 13 warga sipil tewas termasuk satu orang polisi, setelah terjadi kontak senjata.
"Ada pengiriman bom. Dari Surabaya menuju ke Makassar dengan menggunakan jasa pengiriman barang. Seharusnya jasa pengiriman barang ini sudah bisa mendeteksi dengan peralatan yang dimiliki. Ini kan sangat berbahaya," kata Jenderal Polisi Sutarman.
Sutarman menambahkan dari pengungkapan itu, polisi berhasil menangkap tiga orang pelaku pengiriman paket bom itu. Penangkapan itu dilakukan di tiga tempat berbeda.
"Kita ikuti, kita amankan, kita jinakkan bom itu, dan kita bisa tangkap tiga orang pelaku. Di Makassar satu (orang), di Lampung satu dan di Bengkulu satu orang. Kita kemudian telusuri, bom ini sebenarnya akan ditujukan di target-target yang ada di Surabaya. Tapi mungkin karena kesempatannya ga ada, akhirnya dikirim ke Makassar. Jadi Makassar yang menjadi target," lanjutnya.
Sutarman memastikan, dengan penangkapan ini Polri berhasil mencegah adanya aksi teror bom di beberapa tempat. Ia menghimbau agar semua pihak tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam mengungkapkan pendapat.
"Sepanjang dia masih menggunakan itu (cara-cara teroris), Polri akan melakukan penegakkan hukum. Apapun tindakan yang kita lakukan, saya akan kurangi berbagai bentuk korban sia-sia. Baik pelaku teroris itu sendiri, maupun dari pihak Polri. Tetapi kalau kita sudah menghadapi pelaku teroris yang membawa senjata dan bom tidak mau menyerah dan melakukan perlawanan, membahayakan jiwa petugas dan masyarakat. Kita dengan terpaksa melakukan tindakan tegas," jelas Sutarman.
Sutarman menambahkan, pengungkapan pengiriman bom dari Surabaya ke Makassar terungkap berdasarkan informasi yang didapat kepolisian melalui pengintaian dan deteksi IT. Menurutnya, informasi terakhir menyebutkan, bom tersebut milik dari kelompok teroris pimpinan Santoso yang bermarkas di Poso Sulawesi Tengah.
Sementara itu, peneliti masalah terorisme Solahuddin mengatakan basis militer kelompok teroris Indonesia yang masih aktif adalah daerah Poso Sulawesi Tengah.
"Pasca (perjanjian perdamaian konflik Poso) Malino, Poso itu betul-betul dijadikan daerah tanzim qoidah aminah atau daerah basis. Salah satu daerah dijadikan basis adalah, secara geografis bagus buat gerilya, dan Poso adalah sebuah daerah yang sangat cocok untuk gerilya. Yang kedua, ada dukungan dari masyarakat," kata Solahudin.
Setelah kasus penangkapan besar-besaran kelompok teroris oleh detasemen khusus anti teror mabes polri di wilayah Tanah Runtuh Poso pada 2007, kelompok-kelompok militan seperti Jamaah Islamiyah dan Kayamanya mulai redup setelah penangkapan para tokohnya.
Baru pada 2010 sisa kekuatan yang ada mulai menata organisasi dengan dipimpin oleh Santoso yang saat ini masih buron. Santoso menyatukan kelompok-kelompok militan di luar Poso, dan kemudian kembali membangun pelatihan militer di Poso.
Teror di wilayah Poso seakan tak berkesudahan. Sebelumnya Poso dilanda konflik horizontal pada Desember 1998 dan April hingga Juni 2000. Kemudian pada 2007 Polisi melakukan penangkapan pelaku kerusuhan Poso di wilayah Gebang Rejo dan Kayamanya Poso kota. Dalam peristiwa ini, 13 warga sipil tewas termasuk satu orang polisi, setelah terjadi kontak senjata.