Kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia masih tinggi. Dalam 10 tahun terakhir angka kasus itu selalu di atas 100 setiap tahunnya. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat ada 38 kasus selama lima bulan terakhir. YLBHI menilai pemerintah perlu memberikan perhatian serius terkait hal tersebut.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara, mengatakan prinsip dasar hak asasi manusia terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan menekankan pada tidak adanya paksaan, dan kebebasan dalam menjalankan kewajiban agama.
Ujaran kebencian, kata Beka, seringkali mengawali kejadian kekerasan maupun pelanggaran hak beragama dan berkeyakinan seseorang maupun kelompok. Selain itu, kasus pelarangan dan penolakan pendirian rumah ibadah, serta kasus penyesatan yang dijerat pasal penodaan agama, justru merendahkan harkat dan martabat manusia.
“Ujaran kebencian itu bukan bagian dari ekspresi berpendapat, bukan bagian dari hak asasi manusia, karena ujaran kebencian atau hate speech itu merendahkan harkat dan martabat manusia," kata Beka Ulung.
Aktivis keberagaman sekaligus Dosen Filsafat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung, Akhol Firdaus, menyebut potret kehidupan beragama dan berkeyakinan di Indonesia masih jauh dari harapan.
Sejumlah lembaga, kata Akhol, mencatat laporan kasus pelanggaran hak asasi manusia terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, meskipun Indonesia memiliki berbagai payung hukum serta sudah meratifikasi instrumen hak asasi manusia PBB. Akhol menilai hal tersebut tidak lepas dari sikap akomodatif dan pembiaran yang dilakukan pemerintah, serta pembuatan peraturan yang justru menimbulkan masalah.
“Sepuluh tahun terakhir kita akan mendapatkan suatu potret jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang masih jauh dari cita-cita normatif konstitusi kita, maupun berbagai instrumen HAM internasional yang kita ratifikasi," kata Akhol Firdaus
"Pertama, negara dinilai cenderung bersikap akomodatif. Negara biasanya cara mengakomodasinya dengan cara pembiaran, juga dengan membuat regulasi yang menambah masalah, misalnya soal SKB," lanjutnya.
Akhol mengajak seluruh masyarakat, khususnya pegiat hak asasi manusia serta aktivis kebhinnekaan, untuk memperjuangkan kehidupan beragama yang inklusif di Indonesia. Kehidupan yang siap menerima berbagai perbedaan yang ada, termasuk diantaranya agama dan kepercayaan.
“Salah satu caranya adalah membuat social engineering, membayangkan platform Indonesia 2070, lima puluh tahun yang akan datang gerakan sosial di Indonesia itu harus mampu membayangkan kolom agama hilang di KTP," kata Akhol.
Artinya, lanjutnya, Indonesia sebagai bangsa harus siap kembali kepada tata hidup keagamaan yang inklusif seperti yang diajarkan oleh para leluhur pada abad 14 masehi.
Beka Ulung Hapsara menambahkan, solusi mengatasi masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia dapat dilakukan dengan memperlebar ruang dialog yang saling terbuka. Selain itu juga dengan penegakan hukum yang adil yang dijalankan oleh pemerintah beserta aparat penegak hukum. Dengan demikian, katanya, gesekan maupun konflik berlatar belakang agama dan kepercayaan dapat dihindari atau di minimalkan. [pr/ka/ah]