Tindakan persekusi dialami oleh dua perempuan pemandu karaoke di salah satu kafe wilayah Pasir Putih, Kecamatan Lengayang, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatra Barat (Sumbar), Sabtu (8/4) kemarin. Kedua perempuan malang itu diarak, ditelanjangi, dan diceburkan ke laut oleh masyarakat. Aksi persekusi itu sempat direkam masyarakat dan viral di media sosial.
Persekusi itu diduga dipicu oleh kafe yang menjadi tempat kedua perempuan itu masih beroperasi saat Ramadan. Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, menilai persekusi tersebut telah menunjukkan praktik misoginis (orang yang membenci perempuan) berdasarkan pekerjaannya.
“Persekusi disertai dengan mengarak perempuan dan ditelanjangi merupakan sikap misoginis yang tak pantas di masa sekarang. Apalagi peristiwa ini dilakukan di depan publik dan direkam serta disebar secara masif yang akan berpotensi berdampak lahirnya kebencian terhadap perempuan,” katanya kepada VOA, Rabu (12/4) malam.
Persekusi tersebut juga telah menunjukkan masih kuatnya perspektif patriarki di tengah-tengah masyarakat. Publik kerap mengangap perempuan adalah penjaga moral sehingga kaum hawa harus tunduk pada situasi maupun tuntutan yang timbul di masyarakat.
“Situasi ini harus segera diubah apalagi Indonesia telah memiliki kebijakan-kebijakan yang melindungi perempuan dari tindakan kekerasan dan diskriminasi,” ujar Veryanto.
Di atas semua itu, persekusi yang dilakukan masyarakat di Pesisir Selatan itu jelas merupakan pelanggaran atas hak asasi perempuan di era modern, tambahnya.
“Komnas Perempuan mengecam tindakan persekusi yang dilakukan terhadap perempuan di pesisir selatan Sumatera Barat. Tindakan main hakim seperti ini merupakan tindakan merendahkan martabat kemanusiaan khususnya yang ditujukan kepada perempuan ketika diarak dan ditelanjangi,” ucap Veryanto.
Komnas Perempuan Desak Polisi Tangkap Pelaku, Lindungi Korban
Dalam kasus persekusi ini Komnas Perempuan turut mendesak agar kepolisian memberikan perlindungan terhadap korban; dan menangkap serta meminta pertanggungjawaban hukum para pelaku.
Bukan hanya itu, pemerintah daerah diminta agar tidak menoleransi tindakan persekusi dan main hakim sendiri, apalagi terhadap perempuan. Pasalnya, tindakan persekusi terhadap perempuan malah akan memberi peluang terjadinya praktik misoginis.
“Kami berharap agar perempuan di Sumbar maupun Indonesia terlindungi dari tindakan misoginis, diskriminasi, dan kekerasan yang mengancam keselamatan. Tindakan itu bisa menghilangkan rasa aman perempuan saat beraktivitas,” kata Veryanto.
Komnas Perempuan berharap peristiwa merendahkan martabat manusia khususnya yang dialami oleh kedua perempuan itu tidak terulang di masa mendatang.
“Tindakan persekusi disertai diskriminasi merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Ini harus segera ditangani sehingga perempuan-perempuan di Indonesia dapat hidup lebih baik dan mendapatkan hak-haknya atas perlindungan maupun keadilan,” pungkas Veryanto.
Imbas Berkelindannya Fanatisme Agama dan Patriarki
Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, mengatakan persekusi yang dialami oleh kedua perempuan di Pesisir Selatan merupakan imbas dari fanatisme agama yang malah menimbulkan tindakan berlebihan. Seharusnya masyarakat bisa mengedepankan moderasi beragama ketika dihadapkan dalam situasi seperti itu.
Apabila cara beragama saling memberikan penghormatan satu sama lain. Maka itu bisa membangun kultur kehidupan sosial yang lebih manusiawi atas perbedaan.
“Ada gejala fanatisme agama tidak menghormati perbedaan keberagaman. Orang yang berpuasa mesti menghormati yang tidak puasa. Orang yang tidak puasa juga harus menghormati yang berpuasa. Tidak mudah melakukan upaya-upaya main hakim sendiri dan persekusi apalagi itu mengancam nyawa,” katanya kepada VOA.
Selain fanatisme agama, faktor budaya patriarki masih melekat di masyarakat juga dinilai turut menjadi pemicu persekusi tersebut.
“Budaya patriarki dan moderasi beragama memang harus terus diberikan literasinya kepada masyarakat. Bagaimana Ramadan itu saat yang tepat untuk saling jaga momentum agar bisa menahan diri. Tapi justru karena fanatisme itu menimbulkan tindakan yang berlebihan,” ungkapnya.
Akibat budaya patriarki itu perempuan kerap dipandang rendah apalagi bagi mereka yang bekerja di sektor-sektor tertentu.
“Misalnya pemandu karaoke dipandang rendah. Padahal selama ini banyak juga laki-laki menggunakan karaoke dianggap biasa saja. Jadi bagaimana stigmatisasi perempuan yang bekerja di sektor-sektor tertentu itu dipandang rendah. Kemudian dijadikan sebagai sasaran persekusi. Ini semestinya tidak dibenarkan,” pungkas Anis. [aa/em]
Forum