JAKARTA —
Banyaknya peraturan daerah yang diskriminatif dan menyudutkan perempuan menyebabkan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan menyelesaikan masalah tersebut.
Komisioner Komnas Perempuan Andi Yentriyani, Selasa (28/5), mengatakan desentralisasi bukanlah suatu halangan bagi pemerintah pusat untuk memberikan pengarahan dan juga bertindak tegas kepada kepala daerah yang mengeluarkan himbauan ataupun peraturan yang menyudutkan perempuan.
Menurutnya, desentralisasi yang tidak terkontrol akan menyebabkan pembodohan dan juga disintegrasi bangsa.
Baru-baru ini, Bupati Aceh Utara mengeluarkan soal larangan perempuan dewasa menari di depan orang banyak dalam acara formal pejabat daerah itu, dengan tujuan menjaga moral warga di wilayah tersebut. Sebelumnya Gubernur Jawa Barat juga melarang penari jaipongan memperlihatkan ketiaknya.
Andi mengatakan menari adalah suatu ekspresi budaya, bukannya penempatan perempuan sebagai obyek seksual, yang merupakan kemunduran peradaban dan juga pelanggaran konstitusi yang dilakukan kelapa daerah.
Data Komnas Perempuan menyatakan saat ini terdapat sekitar 282 peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan.
“Kita membutuhkan sebuah mekanisme dimana kepala-kepala daerah yang mengeluarkan aturan-aturan ataupun pernyataan-pernyataan yang sebetulnya bertentangan dengan konstitusi ataupun peraturan perundang-undangan harus diberikan peringatan kemudian diberikan sanksi yang sesuai. Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan seharusnya sudah masuk dalam ruang politik ini. Sayangnya kita hampir belum mendengar pendapat apapun dari presiden terkait persoalan ini,” ujarnya.
Juru bicara pemerintah Kabupaten Aceh Utara, Fahrurrazi mengatakan larangan perempuan dewasa menari di depan orang banyak tidak akan mengancam seni budaya tari tradisional di Aceh.
Dia mengatakan imbauan ini didasari atas kekhawatiran bahwa tarian yang dilakukan oleh perempuan dewasa bisa mengganggu penonton pria.
“Alasannya antara lain bahwa selama ini kan figur-figur yang diambil sebagai penari itu umumnya perempuan dewasa, yang cantik-cantik, yang badannya bagus sehingga ketika ada perempuan lenggak lenggok di depan kita dalam jangka waktu yang lama itu kan bisa membangkitkan semangat seksual. Solusinya, kalaupun tidak bisa kita pertontonkan bisa kita kaderkan anak-anak kita yang di bawah umur,” ujarnya.
Sementara itu Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menyatakan Presiden Yudhoyono berencana akan mengkaji peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
“Mensinergikan pusat dan daerah, tumpang tindih diantara kebijakan yang dibuat pemerintahan tingkat daerah dengan pemerintah pusat yang tidak jalan… Tapi bagaimanapun, komitmen presiden untuk membereskan segala sesuatu yang tidak seharusnya akan tetap akan direalisasikan,” ujarnya.
Komisioner Komnas Perempuan Andi Yentriyani, Selasa (28/5), mengatakan desentralisasi bukanlah suatu halangan bagi pemerintah pusat untuk memberikan pengarahan dan juga bertindak tegas kepada kepala daerah yang mengeluarkan himbauan ataupun peraturan yang menyudutkan perempuan.
Menurutnya, desentralisasi yang tidak terkontrol akan menyebabkan pembodohan dan juga disintegrasi bangsa.
Baru-baru ini, Bupati Aceh Utara mengeluarkan soal larangan perempuan dewasa menari di depan orang banyak dalam acara formal pejabat daerah itu, dengan tujuan menjaga moral warga di wilayah tersebut. Sebelumnya Gubernur Jawa Barat juga melarang penari jaipongan memperlihatkan ketiaknya.
Andi mengatakan menari adalah suatu ekspresi budaya, bukannya penempatan perempuan sebagai obyek seksual, yang merupakan kemunduran peradaban dan juga pelanggaran konstitusi yang dilakukan kelapa daerah.
Data Komnas Perempuan menyatakan saat ini terdapat sekitar 282 peraturan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan.
“Kita membutuhkan sebuah mekanisme dimana kepala-kepala daerah yang mengeluarkan aturan-aturan ataupun pernyataan-pernyataan yang sebetulnya bertentangan dengan konstitusi ataupun peraturan perundang-undangan harus diberikan peringatan kemudian diberikan sanksi yang sesuai. Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan seharusnya sudah masuk dalam ruang politik ini. Sayangnya kita hampir belum mendengar pendapat apapun dari presiden terkait persoalan ini,” ujarnya.
Juru bicara pemerintah Kabupaten Aceh Utara, Fahrurrazi mengatakan larangan perempuan dewasa menari di depan orang banyak tidak akan mengancam seni budaya tari tradisional di Aceh.
Dia mengatakan imbauan ini didasari atas kekhawatiran bahwa tarian yang dilakukan oleh perempuan dewasa bisa mengganggu penonton pria.
“Alasannya antara lain bahwa selama ini kan figur-figur yang diambil sebagai penari itu umumnya perempuan dewasa, yang cantik-cantik, yang badannya bagus sehingga ketika ada perempuan lenggak lenggok di depan kita dalam jangka waktu yang lama itu kan bisa membangkitkan semangat seksual. Solusinya, kalaupun tidak bisa kita pertontonkan bisa kita kaderkan anak-anak kita yang di bawah umur,” ujarnya.
Sementara itu Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha menyatakan Presiden Yudhoyono berencana akan mengkaji peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan.
“Mensinergikan pusat dan daerah, tumpang tindih diantara kebijakan yang dibuat pemerintahan tingkat daerah dengan pemerintah pusat yang tidak jalan… Tapi bagaimanapun, komitmen presiden untuk membereskan segala sesuatu yang tidak seharusnya akan tetap akan direalisasikan,” ujarnya.