Presiden Yudhoyono akhirnya menerbitkan Inpres mengenai moratorium hutan primer dan lahan gambut. Aturan ini diharapkan dapat menyelamatkan kawasan hutan Indonesia, yang masih tersisa sekitar 64 Juta Hektar.
Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2011 mengenai penundaan izin-izin baru pembukaan hutan primer dan lahan gambut, telah ditandatangani Presiden Yudhoyono, hari Kamis. Staf Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim, Agus Purnomo, kepada pers Jumat siang, mengatakan penundaan izin itu berlaku selama 2 tahun.
Aturan terbaru ini, kata Agus, akan berlaku bagi seluruh kawasan hutan primer dan gambut, termasuk wilayah hutan yang menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Definisi hutan primer adalah hutan yang sama sekali belum pernah dijamah manusia atau belum ada pemanfaatan sebelumnya.
Agus Purnomo mengatakan, “Di dalam konteks izin sebetulnya menjadi kewenangan dari Menteri Kehutanan untuk kawasan hutan, dan (kewenangan) Bupati untuk kawasan yang sudah dikelola pemerintah tingkat kabupaten. Instruksi ini langsung dari Presiden kepada Menteri Kehutanan dan para Bupati dan Gubernur untuk tidak mengeluarkan izin-izin baru.”
Dengan adanya penundaan izin selama 2 tahun, maka pemerintah akan memiliki cukup waktu untuk penyempurnaan tata kelola hutan; baik dari segi perizinan, standar, dan hal-hal lain dalam konteks upaya pengurangan emisi akibat deforestasi (perusakan hutan) dan pemanfaatan lahan gambut, kata Agus Purnomo.
Pelaksanaan Inpres ini akan dipantau oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Kabinet, Dipo Alam mengakui banyak kejadian di daerah ketika tiba masa Pilkada kadang-kadang penguasa di daerah menerbitkan izin-izin pembukaan hutan primer dan gambut, demi tujuan politik.
Dipo Alam mengatakan, “Sebenarnya pemerintah ingin sekali mendapatkan masukan dan pemantauan dari media jika ada izin-izin yang dikeluarkan terkait dengan kepentingan politik dalam pilkada itu. Jadi ini juga yang menjadi alasan dikeluarkannya Inpres (No. 10 Tahun 2011).”
Namun, baik Dipo Alam maupun Agus Purnomo membantah Inpres dikeluarkan karena adanya desakan dari Norwegia, terkait Letter of Intent yang disepakati tahun lalu dan komitmen hibah Norwegia sebesar 1 Milyar Dolar Amerika.
“Uangnya sudah cair, sekarang 30 Juta Dollar Amerika sudah ada di Indonesia, di UNDP karena memang yang ditunjuk untuk mengelola uang itu oleh Norwegia adalah UNDP. Jadi enggak ada hubungannya dengan pencairan uang. Memang rencananya Inpres dikeluarkan 1 Januari (2011) tetapi baru sekarang dapat dikeluarkan, karena kita mendapatkan banyak masukan. Akhirnya keluarlah draft terakhir ini,” papar Agus Purnomo.
Juru kampanye hutan dari Greenpeace Asia Tenggara, Yuyun Indradi, kepada VOA mengatakan diterbitkannya Inpres tersebut memang sebuah langkah maju. Tetapi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan gambut untuk industri kelapa sawit.
“Kalau membaca sinyal dari Kementerian Kehutanan, lahan gambut yang akan dilindungi sekitar 12 Juta Hektar dari total 21 Juta (Hektar). Jadi masih ada 9 Juta Hektar yang sebenanya masih tanda tanya besar, apakah itu akan direhabilitasi, dilindungi?" ujar Yuyun.
Kawasan gambut di pantai timur Sumatera, misalnya, mulai dari Riau sampai Sumatera Selatan saling tersambung dalam satu jalur.
"Jika ada lahan gambut yang rusak sebagian, maka itu juga berpengaruh pada kawasan gambut yang lain," demikian menurut Yuyun Indradi.