Keputusan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi untuk meninggalkan Yaman, sementara para pemberontak Houthi bergerak mendekati istana kepresidenan di Aden, telah menimbulkan keprihatinan mengenai usaha Amerika untuk memerangi militan al-Qaida di negara itu.
Meski para pemberontak Houthi yang telah menguasai banyak wilayah di Yaman juga menentang al-Qaida, tidak mungkin mereka bekerjasama dengan Amerika memerangi kelompok teroris itu.
Charles Schmitz, seorang analis di Lembaga Kajian Timur Tengah, mengatakan, para pemberontak Houthi menggambarkan diri mereka sebagai warga Yaman yang sesungguhnya dan merasa tidak berhutang budi pada pihak asing sehingga kemungkinan tidak akan bersedia bekerjasama dengan Amerika.
Jeff Rathke, Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika mengatakan, Amerika memiliki cara-cara untuk membuat pandangannya diketahui Houthi, namun sejauh ini tidak ada kontak langsung.
Rathke mengatakan, konflik di Yaman dibahas singkat dalam pembicaraan antara Menlu AS John Kerry dan Menlu Iran Mohammad Javad Zarif, pada perundingan nuklir di Swiss.
Ia mengatakan, Kerry juga berbicara dengan para menteri luar negeri dari Dewan Kerjasama Teluk. Aliansi enam negara Arab memimpin usaha untuk membom target-target pemberontak Houthi yang selama ini mendapat dukungan Iran.
Meskipun Amerika mendukung tindakan militer itu, juru bicara Gedung Putih Josh Earnest mengatakan, penyelesaian terbaik bagi Yaman adalah solusi politik hasil perundingan.
Namun, Earnst mengakui. langkah ke arah sana tidak bisa diusahakan selama Houthi bekerjasama dengan mantan Presiden Ali Abdullah Saleh memicu banyak ketidakstabilan di negara itu.
Ia mengatakan, Amerika mendesak Houthi untuk menghentikan kekerasan dan bekerjasama dalam usaha pimpinan PBB untuk merundingkan penyelesaian.