JAKARTA —
Baik Indonesia dan Burma, keduanya pernah berada dibawah kediktatoran militer dan kini dipimpin mantan jenderal. Keduanya mengalami transisi yang menyakitkan menuju demokrasi dan menghadapi konflik yang menghadang.
Cendekiawan dan penasihat pemerintah mengatakan persamaan itu menuai pemahaman bahwa perubahan membutuhkan waktu, dan kesadaran itu membuat Indonesia tidak mendesak Burma agar mempercepat laju reformasi.
Teuku Faizasyah adalah pembantu Presiden Yudhoyono untuk urusan internasional. Ia mengatakan, "Jelas, ketika negara-negara mulai mereformasi sistem politik seperti dulu di Indonesia, kami mengalami banyak kesulitan pada tahap awal, banyak konflik komunal, kekerasan dan perilaku lain yang tidak kondusif bagi demokrasi. Apa yang terjadi di Myanmar sekarang ini hanya bagian dari realitas baru dalam demokrasi."
Pada tahun-tahun setelah protes massa tahun 1998 menyebabkan turunnya presiden Soeharto yang otokratis, Indonesia berusaha agar militernya secara perlahan keluar dari pemerintah. Pada saat sama, Indonesia menggunakan kedekatan hubungannya dengan Burma untuk mendorong rezim militer negara itu agar lebih terbuka.
Pengamat Burma mengatakan kemajuan telah dilakukan. Sejak mengambil alih pemerintahan dua tahun lalu, Presiden Burma Thein Sein telah melonggarkan kendali atas media, membebaskan tahanan politik dan membantu menegosiasi perjanjian gencatan senjata dengan kelompok pemberontak.
Tetapi bentrokan etnis dan sektarian meningkat di Burma, yang mayoritas penduduknya adalah Budha, mengancam reformasi yang telah dicapai.
Organisasi HAM dan PBB telah mendesak pemerintah agar berbuat lebih banyak guna mengurangi ketegangan sektarian sejak Juni lalu, ketika terjadi kerusuhan antara pemeluk Budha dan Muslim di negarabagian Rakhine, Burma barat. Malahan, kekerasan menyebar, memaksa lebih dari 100 ribu orang mengungsi.
Banyak dari mereka yang melarikan diri dari kekerasan itu pergi ke luar negeri, sebagian di antaranya mengungsi ke Indonesia. Sekarang ini, Indonesia memilih menyetujui pemerintah Burma, bukan mengeritik negara itu.
Moe Thuzar, pengamat Burma pada Institut Kajian Asia Tenggara di Singapura, mengatakan sikap Indonesia itu mirip strategi tidak campur tangan yang digunakan dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, atau ASEAN.
Indonesia mengalami kekerasan internal serupa setelah masa transisi menuju demokrasi dan menyadari rumitnya berurusan dengan reformasi. Menurut sejumlah analis, jika Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, dinilai memihak Rohingya, itu berisiko memecah ASEAN dan akan membahayakan peran utamanya dalam kelompok regional tersebut.
Perusahaan-perusahaan Indonesia juga mencari peluang investasi ke Burma. Jika Indonesia mulai menekan, negara itu bisa kehilangan sebagian pengaruhnya.
Beberapa anggota DPR bersama mitra mereka di Burma telah membahas reformasi keamanan dan kemungkinan berbicara dengan orang-orang yang terlibat dalam penyusunan perjanjian Helsinki yang mengakhiri pertempuran di Aceh selama puluhan tahun.
Badan legislatif Burma mengalami beberapa reformasi terbesar di negara itu, meskipun pemerintahan masih diisi tokoh-tokoh militer. Menurut anggota DPR Indonesia, jika parlemen Burma lebih diberdayakan, itu akan berperan lebih besar dalam membentuk masa depan Burma.
Cendekiawan dan penasihat pemerintah mengatakan persamaan itu menuai pemahaman bahwa perubahan membutuhkan waktu, dan kesadaran itu membuat Indonesia tidak mendesak Burma agar mempercepat laju reformasi.
Teuku Faizasyah adalah pembantu Presiden Yudhoyono untuk urusan internasional. Ia mengatakan, "Jelas, ketika negara-negara mulai mereformasi sistem politik seperti dulu di Indonesia, kami mengalami banyak kesulitan pada tahap awal, banyak konflik komunal, kekerasan dan perilaku lain yang tidak kondusif bagi demokrasi. Apa yang terjadi di Myanmar sekarang ini hanya bagian dari realitas baru dalam demokrasi."
Pada tahun-tahun setelah protes massa tahun 1998 menyebabkan turunnya presiden Soeharto yang otokratis, Indonesia berusaha agar militernya secara perlahan keluar dari pemerintah. Pada saat sama, Indonesia menggunakan kedekatan hubungannya dengan Burma untuk mendorong rezim militer negara itu agar lebih terbuka.
Pengamat Burma mengatakan kemajuan telah dilakukan. Sejak mengambil alih pemerintahan dua tahun lalu, Presiden Burma Thein Sein telah melonggarkan kendali atas media, membebaskan tahanan politik dan membantu menegosiasi perjanjian gencatan senjata dengan kelompok pemberontak.
Tetapi bentrokan etnis dan sektarian meningkat di Burma, yang mayoritas penduduknya adalah Budha, mengancam reformasi yang telah dicapai.
Organisasi HAM dan PBB telah mendesak pemerintah agar berbuat lebih banyak guna mengurangi ketegangan sektarian sejak Juni lalu, ketika terjadi kerusuhan antara pemeluk Budha dan Muslim di negarabagian Rakhine, Burma barat. Malahan, kekerasan menyebar, memaksa lebih dari 100 ribu orang mengungsi.
Banyak dari mereka yang melarikan diri dari kekerasan itu pergi ke luar negeri, sebagian di antaranya mengungsi ke Indonesia. Sekarang ini, Indonesia memilih menyetujui pemerintah Burma, bukan mengeritik negara itu.
Moe Thuzar, pengamat Burma pada Institut Kajian Asia Tenggara di Singapura, mengatakan sikap Indonesia itu mirip strategi tidak campur tangan yang digunakan dalam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara, atau ASEAN.
Indonesia mengalami kekerasan internal serupa setelah masa transisi menuju demokrasi dan menyadari rumitnya berurusan dengan reformasi. Menurut sejumlah analis, jika Indonesia, yang mayoritas penduduknya Muslim, dinilai memihak Rohingya, itu berisiko memecah ASEAN dan akan membahayakan peran utamanya dalam kelompok regional tersebut.
Perusahaan-perusahaan Indonesia juga mencari peluang investasi ke Burma. Jika Indonesia mulai menekan, negara itu bisa kehilangan sebagian pengaruhnya.
Beberapa anggota DPR bersama mitra mereka di Burma telah membahas reformasi keamanan dan kemungkinan berbicara dengan orang-orang yang terlibat dalam penyusunan perjanjian Helsinki yang mengakhiri pertempuran di Aceh selama puluhan tahun.
Badan legislatif Burma mengalami beberapa reformasi terbesar di negara itu, meskipun pemerintahan masih diisi tokoh-tokoh militer. Menurut anggota DPR Indonesia, jika parlemen Burma lebih diberdayakan, itu akan berperan lebih besar dalam membentuk masa depan Burma.