Pemimpin kelompok oposisi Burma, Aung San Suu Kyi mengatakan, minoritas Muslim di negaranya harus merasa aman, dan menyebut keadaan mereka sebagai “hal yang sangat menyedihkan di negara itu”.
Pada sebuah konferensi pers dalam kunjungannya ke Jepang, Aung San Suu Kyi mengatakan warga Budha di Burma harus belajar mengakomodasi orang yang berpandangan berbeda.
Pemenang Nobel Perdamaian itu baru-baru ini bertemu dengan beberapa pemimpin Muslim Burma. Ia mengatakan mereka merasa telah diperlakukan sedemikian rupa di Burma atau di negara-negara lain.
Aung San Suu Kyi telah dikecam karena tidak menentang penganiayaan kelompok etnis dan agama minoritas itu sewaktu pecahnya aksi kekerasan yang membuat lebih dari 100 ribu orang mengungsi.
Sedikitnya 43 orang tewas dalam kerusuhan antara warga Budha dan Muslim yang terjadi bulan lalu di kota Meikhtilla. Aksi kekerasan itu kemudian meluas ke kota-kota lain.
Dalam pidato hari Rabu (17/4) di Universitas Tokyo, Jepang, pemimpin oposisi Burma, Aung San Suu Kyi mengakui Burma telah memulai jalur menuju demokrasi, tetapi ia mengatakan pencapaiannya masih rapuh.
"Banyak orang yang bertanya kepada saya apakah proses demokratisasi di Burma sudah tidak akan berubah lagi. Kini saya selalu mengatakan dengan sangat sederhana, demokratisasi di Burma tidak akan berubah lagi setelah militer menerimanya," papar Suu Kyi.
Para pemimpin Birma mendapat pujian dari para politisi dan kepala negara asing yang telah merangkul reformasi politik di negara itu sebagai isyarat terbukanya demokrasi.
Tetapi pernyataan Aung San Suu Kyi yang berhati-hati minggu ini menggarisbawahi hubungan yang rumit yang masih ada antara dirinya dan Partai Liga Nasional bagi Demokrasi (NLD) dengan militer yang tetap merupakan kekuatan paling berpengaruh di negara itu.
Para analis politik mengatakan keinginan NLD untuk mengubah Konstitusi 2008 yang dirancang oleh militer untuk membuatnya lebih adil bisa mengarah pada kompromi yang berlebihan. Konstitusi itu menyisihkan seperempat dari seluruh posisi anggota parlemen bagi pihak militer dan tidak mengijinkan Aung San Suu Kyi mencalonkan diri sebagai presiden.
Aung Thu Nyein adalah direktur lembaga riset Vahu Development Institute di Birma. Dia mengatakan pihak oposisi berada dalam posisi sulit karena memerlukan dukungan militer.
Aung Thu Nyein menjelaskan, "Cukup rumit bagi Suu Kyi untuk berurusan dengan militer karena 25 persen anggota parlemen yang tidak dipilih masih duduk di parlemen dan mereka cukup berpengaruh untuk membuat reformasi konstitusi. Pada saat bersamaan, beberapa kementerian penting seperti kementerian dalam negeri dan kementerian urusan perbatasan masih dikuasai oleh militer."
Aung San Suu Kyi dan NLD telah dikecam oleh para aktivis politik dan HAM karena tidak cukup banyak menantang partai berkuasa pimpinan Presiden Thein Sein sejak memperoleh kursi di parlemen.
Aung San Suu Kyi juga dikritik karena gagal memberikan pernyataan yang menentang penindasan minoritas etnik dan agama semasa berkobarnya kekerasan sektarian yang telah menelantarkan lebih dari 100.000 orang.
Meskipun serangan-serangan itu umumnya dilakukan sepihak, Aung San Suu Kyi menolak untuk membela komunitas Muslim atau mengutuk para biksu Buddha yang mendorong serangan-serangan tersebut.
Pada sebuah konferensi pers dalam kunjungannya ke Jepang, Aung San Suu Kyi mengatakan warga Budha di Burma harus belajar mengakomodasi orang yang berpandangan berbeda.
Pemenang Nobel Perdamaian itu baru-baru ini bertemu dengan beberapa pemimpin Muslim Burma. Ia mengatakan mereka merasa telah diperlakukan sedemikian rupa di Burma atau di negara-negara lain.
Aung San Suu Kyi telah dikecam karena tidak menentang penganiayaan kelompok etnis dan agama minoritas itu sewaktu pecahnya aksi kekerasan yang membuat lebih dari 100 ribu orang mengungsi.
Sedikitnya 43 orang tewas dalam kerusuhan antara warga Budha dan Muslim yang terjadi bulan lalu di kota Meikhtilla. Aksi kekerasan itu kemudian meluas ke kota-kota lain.
Dalam pidato hari Rabu (17/4) di Universitas Tokyo, Jepang, pemimpin oposisi Burma, Aung San Suu Kyi mengakui Burma telah memulai jalur menuju demokrasi, tetapi ia mengatakan pencapaiannya masih rapuh.
"Banyak orang yang bertanya kepada saya apakah proses demokratisasi di Burma sudah tidak akan berubah lagi. Kini saya selalu mengatakan dengan sangat sederhana, demokratisasi di Burma tidak akan berubah lagi setelah militer menerimanya," papar Suu Kyi.
Para pemimpin Birma mendapat pujian dari para politisi dan kepala negara asing yang telah merangkul reformasi politik di negara itu sebagai isyarat terbukanya demokrasi.
Tetapi pernyataan Aung San Suu Kyi yang berhati-hati minggu ini menggarisbawahi hubungan yang rumit yang masih ada antara dirinya dan Partai Liga Nasional bagi Demokrasi (NLD) dengan militer yang tetap merupakan kekuatan paling berpengaruh di negara itu.
Para analis politik mengatakan keinginan NLD untuk mengubah Konstitusi 2008 yang dirancang oleh militer untuk membuatnya lebih adil bisa mengarah pada kompromi yang berlebihan. Konstitusi itu menyisihkan seperempat dari seluruh posisi anggota parlemen bagi pihak militer dan tidak mengijinkan Aung San Suu Kyi mencalonkan diri sebagai presiden.
Aung Thu Nyein adalah direktur lembaga riset Vahu Development Institute di Birma. Dia mengatakan pihak oposisi berada dalam posisi sulit karena memerlukan dukungan militer.
Aung Thu Nyein menjelaskan, "Cukup rumit bagi Suu Kyi untuk berurusan dengan militer karena 25 persen anggota parlemen yang tidak dipilih masih duduk di parlemen dan mereka cukup berpengaruh untuk membuat reformasi konstitusi. Pada saat bersamaan, beberapa kementerian penting seperti kementerian dalam negeri dan kementerian urusan perbatasan masih dikuasai oleh militer."
Aung San Suu Kyi dan NLD telah dikecam oleh para aktivis politik dan HAM karena tidak cukup banyak menantang partai berkuasa pimpinan Presiden Thein Sein sejak memperoleh kursi di parlemen.
Aung San Suu Kyi juga dikritik karena gagal memberikan pernyataan yang menentang penindasan minoritas etnik dan agama semasa berkobarnya kekerasan sektarian yang telah menelantarkan lebih dari 100.000 orang.
Meskipun serangan-serangan itu umumnya dilakukan sepihak, Aung San Suu Kyi menolak untuk membela komunitas Muslim atau mengutuk para biksu Buddha yang mendorong serangan-serangan tersebut.