Polisi menembakkan meriam air, Senin (8/2), ke ratusan pengunjuk rasa di ibu kota Myanmar yang menuntut agar militer mengembalikan kekuasaan kepada para pejabat terpilih, sementara demonstrasi yang menentang kudeta pekan lalu itu meningkat dan menyebar ke lebih banyak wilayah negara itu.
Demonstrasi di Naypyitaw, yang telah berlangsung selama beberapa hari, sangat signifikan karena kota itu, yang penduduknya termasuk banyak pegawai negeri dan keluarga mereka, tidak memiliki tradisi protes dan memiliki kehadiran militer yang besar.
Sebuah protes juga membengkak di sebuah persimpangan utama pusat kota Yangon. Di kota terbesar di Myanmar itu orang-orang meneriakkan slogan-slogan, memberikan penghormatan tiga jari yang merupakan simbol perlawanan, dan membawa plakat-plakat bertuliskan, “Tolak kudeta militer'' dan “Keadilan untuk Myanmar''.
Serangkaian demonstrasi juga berlangsung di kota-kota di wilayah utara, tenggara dan timur negara itu.
“Kami tidak menginginkan junta militer,'' kata Daw Moe, seorang pengunjuk rasa di Yangon. “Kami tidak pernah menginginkan junta ini. Tidak ada yang menginginkannya. Semua orang siap melawan mereka.''
Media pemerintah untuk pertama kalinya, Senin (8/2), melaporkan demonstrasi itu, dan mengklaim bahwa aksi-aksi itu membahayakan stabilitas negara.
“Demokrasi bisa dihancurkan jika tidak ada disiplin,'' kata pernyataan Kementerian Penerangan yang dibacakan stasiun televisi negara MRTV. “Kami harus mengambil tindakan hukum untuk mencegah tindakan yang melanggar stabilitas negara, keamanan publik, dan supremasi hukum."
Kudeta dipandang masyarakat internasional sebagai kemunduran yang mengejutkan bagi Myanmar, yang telah membuat kemajuan menuju demokrasi dalam beberapa tahun terakhir setelah lima dekade pemerintahan militer.
Aksi pengambilalihan kekuasaan itu terjadi pada hari anggota parlemen yang baru terpilih seharusnya untuk kali pertama duduk di kursi mereka di Parlemen setelah pemilihan November. Para jenderal mengatakan bahwa pemungutan suara dirusak oleh penipuan, meskipun komisi pemilu negara telah menolak klaim itu.
Tidak ada tanda-tanda bahwa baik para pengunjuk rasa maupun militer akan mundur dalam perseteruan mereka tentang siapa pemerintah yang sah di negara itu: para politisi dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi Suu Kyi, yang memenangkan pemilu baru-baru ini dengan telak, atau junta. Partai Suu Kyi sendiri telah meminta pengakuan internasional sebagai wakil rakyat yang sah.
Seruan untuk pemogokan umum dikeluarkan Minggu malam oleh beberapa kelompok aktivis di Yangon, tetapi tidak jelas apakah seruan itu telah diedarkan secara luas atau diadopsi oleh gerakan pembangkangan sipil yang terorganisir secara informal di garis depan protes.
Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan 165 orang, sebagian besar politisi, telah ditahan sejak kudeta 1 Februari, dengan hanya 13 orang yang dibebaskan. [ab/uh]