Setelah molor dua jam dari rencana semula karena semen terlambat datang, sembilan ibu dari kawasan pegunungan Kendeng, yang terletak di sepanjang Rembang, Pati, Grobogan, dan Blora, Jawa Tengah, Selasa sore (12/4) menyemen kaki mereka dalam kotak kayu berukuran 100x40 sentimeter.
Kesembilan perempuan yang dijuluki “Kartini Sembilan” ini melaksanakan aksi itu di depan Istana Merdeka, Jakarta, sebagai bagian dari unjukrasa menolak pembangunan pabrik semen di kampung halaman mereka.
Kesembilan perempuan itu adalah Sukinah, Supini, Murtini, Surani, Kiyem, Ngatemi, Karsupi, Deni, dan Rimabarwati.
Sukinah mengatakan unjukrasa dalam bentuk menyemen kedua kaki ini merupakan bentuk kemarahan seorang ibu atas pembangunan pabrik semen di kampung halaman mereka.
"Daripada sakitnya besok lebih parah mendingan sakitnya sekarang. Sakit sekarang tidak seberapa, tapi sakit besok menyangkut masa depan anak cucu akan datang. Kasihan sekali," tuturnya.
Lebih jauh Sukinah mengatakan rumahnya hanya berjarak 900 meter dari tambang semen dan tiga kilometer dari pabrik semen. Dampak dari proyek pembangunan pabrik semen sudah mulai dirasakannya, yakni debu tebal yang mengganggu saluran pernapasan. Melihat pembangunan itu Sukinah yakin dalam sepuluh tahun sumber air di desanya akan habis.
Sukinah menyayangkan sikap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang membiarkan pembangunan pabrik semen di daerahnya.
Hal senada disampaikan Deni, seorang ibu berusia 28 tahun asal Grobogan. Seraya sesenggukan, Deni menyampaikan harapannya supaya Presiden Joko Widodo mau mendengarkan protes mereka dan membatalkan pendirian pabrik semen tersebut.
Deni juga menyatakan telah menyampaikan protes dan keberatan dengan rencana pembangunan pabrik semen itu sejak tahun 2010.
"Kami akan terus berjuang untuk menolak. Kami ingin suara kami didengar. Selamatkan alam kita. Kami ingin selamatkan bumi pertiwi ini," katanya.
Sementara, Taufik, Wakil Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, mengatakan kesembilan ibu itu nekat menyemen kedua kaki mereka karena sudah putus asa menyampaikan keberatan dan menempuh jalur hukum atas kasus ini.
"Aksi ini sebagai simbol bahwa ibu-ibu di sana tidak butuh semen. Simbol bahwa semen ini membelenggu para petani di sana. Alam di sana sudah bisa menghidupi ibu-ibu sudah lama, jauh sebelum adanya pabrik semen. Yang ditakutkan jika pabrik semen dibangun mata pencarian orang di sana hilang. Ke mana mereka setelah semen dibangun. Mereka kan mencari nafkah sebagai petani," papar Taufik.
Sebelumnya, anggota Komisi IV DPR Ono Surono mengatakan komisinya akan berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait pendirian pabrik semen ini. Apakah benar telah merusak lingkungan dan merugikan masyarakat. Jika benar, maka tambahnya pendirian semen di wilayah itu harus dievaluasi. [fw/em]