Publik Indonesia dinilai memerlukan pendidikan politik dan karenanya tidak akan mundur dari pernyataan bahwa Partai Solidaritas Indonesia (PSI) tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah, demikian ujar Ketua PSI Grace Natalie kepada VOA Rabu pagi (21/11).
Grace Natalie dilaporkan ke Bareskrim Polri oleh Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI) Zulkhair, melalui kuasa hukumnya Eggi Sudjana, Jumat lalu (16/11) karena dinilai mengeluarkan pernyataan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan agama dalam pidato peringatan ulang tahun PSI keempat di ICE BSD, Tangerang, hari Minggu (11/11).
Ketika itu Grace mengatakan, "PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi dan seluruh tindakan intoleransi di negeri ini. PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh ada penutupan rumah ibadah secara paksa.’’
Grace menambahkan bahwa sikap ini merupakan salah satu dari tiga misi yang diperjuangkan PSI jika meraih kursi di parlemen, disamping menjaga para pemimpin di tingkat nasional dan lokal dari gangguan politikus hitam, dan menghentikan praktik pemborosan dan kebocoran anggaran di parlemen.
Kepada VOA Grace mengatakan, "Merupakan hak konstitusi Bang Eggi untuk melapor, karena memang ada mekanismenya. Namun tidak tepat jika statement kami dituduh menyebar kebencian.’’
Menurut politisi berusia 36 tahun ini, “PSI justru partai yang menghormati agama dan akan berjuang agar setiap warga negara dapat menjalankan keyakinannya di mana pun di negeri ini, sebagaimana dijamin konstitusi. Publik kita perlu pendidikan politik.’’
Sebelumnya Eggi Sudjana kepada wartawan di Jakarta mengatakan ‘’secara ilmu hukum ini lebih parah dari Ahok.’’ Ia menyebut pernyataan Grace yang dinilai bertentangan dengan beberapa surat dalam Al Qur’an.
SETARA Institute: Secara Substantif Tak Ada yang Salah
SETARA Institute dalam pernyataan tertulis hari Senin (19/11) menilai ‘’secara substantif tidak ada yang salah dengan pernyataan Grace bila dikaitkan dengan masalah aktual jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan sebagai hak konstitusional warga yang diatur UUD 1945.’’ Ditambahkan bahwa Ketua PSI itu justru sedang mengingatkan masalah serius konstruksi hukum Indonesia sebagai negara hukum Pancasila.
SETARA Institut mengutip data Komnas Perempuan yang dikeluarkan akhir Oktober lalu, dimana ada 421 peraturan diskriminatif di tingkat daerah yang bertentangan dengan spirit kesetaraan yang dijamin konstitusi.
"Dalam catatan SETARA, hingga Desember 2017 ada 71 regulasi di tingkat lokal yang diskriminatif, intoleran dan melanggar kebebasan beragama/berkeyakinan, salah satunya dalam bentuk favoritisme pemerintah daerah berdasarkan keberpihakan pada kelompok agama tertentu, khususnya mayoritas.”
SETARA Institut juga mengingatkan aparat kepolisian untuk melakukan moratorium penggunaan pasal-pasal penodaan agama, baik Pasal 156a KUHP dan UU No.1/PNPS/1965, maupun UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ITE. (em)