Tautan-tautan Akses

Radio Komunitas Beri Suara Bagi Perempuan Marjinal di India


Sebuah stasiun radio komunitas kecil yang dijalankan oleh MAPS LSM menjalankan program mingguan yang berfokus pada masalah kesehatan pekerja migran Myanmar. (Foto: Luke Duggleby)
Sebuah stasiun radio komunitas kecil yang dijalankan oleh MAPS LSM menjalankan program mingguan yang berfokus pada masalah kesehatan pekerja migran Myanmar. (Foto: Luke Duggleby)

Sebuah radio komunitas di salah satu distrik paling terbelakang di India Utara, memberdayakan perempuan dengan mendorong mereka bekerja di stasiun radio itu. Komunitas tersebut juga membantu mereka mengatasi isu-isu seperti kekerasan dalam rumah tangga dalam masyarakat patriarki.

Fareen adalah seorang perempuan muda yang bekerja sebagai penyiar di Radio Mewat. Setiap kali dia menyapa para pendengar, ribuan perempuan menyimak.

Fareen adalah suatu pengecualian di desa-desa patriarki yang mayoritas Muslim dimana perempuan dilarang bekerja, terlihat bersama laki-laki atau bahkan didengarkan. Dia menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk meyakinkan orangtuanya supaya mengijinkannya bekerja di radio.

"Penduduk desa mengatakan kepada orangtua saya, 'Kenapa tidak menikahkan puterinya? Dia tua sekali. Siapa yang akan menikahinya kalau dia bekerja?" ujar Fareen.

Selama dua tahun berkarir di radio, Fareen fokus pada isu-isu seperti kekerasan dalam rumah tangga. Dia menganggap dirinya lebih beruntung dibandingkan perempuan muda lain.

"Syukurlah saya belum menikah. Ada banyak suami yang tidak memiliki penghasilan, meninggalkan isteri. Saya beritahu para isteri untuk mendengarkan program kami. Kami bisa membantu," kata Fareen.

Pesannya tidak hanya disampaikan lewat radio. Fareen melakukan apa yang tidak dilakukan perempuan lain disini --naik motor dengan seorang kolega laki-laki ke desa-desa dimana dia menyoroti kisah para perempuan yang menghadapi pelecehan.

Di desa Ferozpur Namak, mereka mendengar kisah tentang seorang perempuan muda bernama Zeenat yang maju ke pengadilan dan memenangkan uang ganti rugi 200 dolar dari suaminya, yang mengabaikannya.

"Ketika saya mendatangi orang-orang, mereka minta saya mengambil sikap. Saya mendapat keberanian setelah mendengarkan program mengenai kekerasan terhadap perempuan," kata Zeenat.

Ilustrasi sebuah mikrofon di studio radio. (Foto: Courtesy/Web Screenshot)
Ilustrasi sebuah mikrofon di studio radio. (Foto: Courtesy/Web Screenshot)

Pertumbuhan pesat ponsel dalam beberapa tahun belakangan telah memperluas jangkauan radio. Perempuan sering meminjam ponsel dari suami mereka untuk mendengar radio. Dan mereka mulai berani mengajukan gugatan atau meminta mediasi.

"Bagi para perempuan ini merupakan proses yang sangat memberdayakan karena radio adalah sesuatu yang memberikan privasi, kerahasiaan, dan memberi informasi yang bisa didengarkan ketika sedang sendirian," kata Archana Kapoor, pendiri dan Direktur Radio Mewat.

Perubahan telah terjadi, namun lamban. Mempekerjakan dan mempertahankan pekerja perempuan merupakan tantangan besar. Dari 12 karyawan, hanya tiga yang perempuan.

"Kami pernah mempekerjakan beberapa perempuan yang sudah menikah. Tapi ketika suami mereka melihat mereka makan siang dengan kolega laki-laki, para suami itu langsung menyuruh mereka berhenti," kata Manajer Stasiun Radio Mewat Komal Sharma.

Entah sampai kapan Fareen akan terus bekerja. Tapi bekerja di dalam studio telah membuatnya semakin dekat dengan mimpi masa kecilnya yaitu menjadi seorang aktor. Dan kini dia punya tujuan baru.

"Saya ingin membawa perubahan ke dalam keluarga yang akan saya nikahi. Anak-anak perempuan harus bersekolah. Para perempuan yang dilecehkan harus mendapat keadilan dan menyadari hak-hak mereka," kata Fareen.

Bagi radio komunitas ini, tantangannya adalah untuk meyakinkan lebih banyak perempuan seperti Fareen bahwa mereka bisa mendobrak tantangan dan mengubah hidup mereka. [vm/my]

XS
SM
MD
LG