Pawai itu menandai pertemuan massal rakyat Kolombia untuk mendukung perjanjian perdamaian yang ditandatangani dengan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC), yang kemudian ditolak oleh para pemilih.
Protes-protes tersebut berlangsung sementara peraih Hadiah Nobel Perdamaian 2016, Presiden Juan Manuel Santos melanjutkan pembicaraan dengan politisi oposisi dan wakil-wakil FARC dalam upaya menyelamatkan perjanjian perdamaian.
Para pemilih menolak perjanjian itu dengan selisih tipis, 50,2 persen berbanding 49,7 persen mendukung, atau dengan selisih 54 ribu suara saja. Hasil ini mengejutkan para pemimpin Kolombia karena jajak pendapat umum menjelang pemungutan suara itu meramalkan referendum tersebut akan diloloskan dengan selisih dua berbanding satu.
Pekan lalu Santos mengatakan ia akan memperpanjang kesepakatan gencatan senjata dengan pemberontak hingga 31 Oktober, meskipun harapan mengenai kesepakatan perdamaian tetap rendah karena para pemimpin FARC menolak untuk mempertimbangkan kembali perjanjian perdamaian yang telah ditandatangani. Sementara itu para penentang perjanjian itu menyatakan pemberontak harus menyetujui persyaratan yang lebih keras.
Banyak penentang perjanjian itu yang tersinggung karena hampir semua pemberontak FARC akan terhindar dari hukuman penjara atas kejahatan yang diduga dilakukan selama pemberontakan dan memperoleh berbagai bantuan finansial dari pemerintah.
Mereka juga marah karena FARC dijamin akan mendapat kursi di Kongres Kolombia tanpa melalui pemilu, sebagai imbalan atas transformasi FARC menjadi sebagai partai politik. [uh/lt]