Tautan-tautan Akses

RI Sayangkan Resolusi Parlemen Eropa terkait Pelanggaran HAM


Seorang pria dicambuk di depan umum karena melakukan hubungan seks sesama jenis di Banda Aceh, Aceh, 23 Mei 2017.
Seorang pria dicambuk di depan umum karena melakukan hubungan seks sesama jenis di Banda Aceh, Aceh, 23 Mei 2017.

Pemerintah Indonesia "menyayangkan" resolusi Parlemen Eropa yang dikeluarkan hari Kamis (15/6) yang mengecam pelanggaran-pelanggaran HAM, seperti perlakuan terhadap kaum LGBT, hukuman mati, dan intoleransi agama, kata Ignatius Priambodo, Sekretaris Pertama di KBRI Brussels yang baru kembali dari pertemuan dengan Parlemen Eropa terkait hal ini, kepada VOA.

Dikeluarkannya resolusi ini kurang memberi kesempatan bagi Indonesia untuk menanggapi apa yang tertuang di dalamnya dan untuk berdialog dengan Uni Eropa — Indonesia mengadakan pertemuan tahunan dengan Uni Eropa untuk membahas isu-isu HAM, kata Ignatius.

Ignatius menambahkan terdapat ketidakcocokan norma-norma yang diakui di Eropa dengan realita di Indonesia.

"Kita harus melihat juga pada situasi kemasyarakatan kita seperti apa, jadi mungkin dalam hal ini, ada beberapa norma yang implementasinya tidak seirama antara Uni Eropa dan Indonesia. Namun secara mendasar Uni Eropa dan Indonesia berupaya melindungi hak dari setiap orang," jelasnya.

Ditegaskan bahwa "Resolusi ini merupakan bentuk pernyataan sikap para anggota Parlemen Eropa. Namun tidak mengurangi nilai kerjasama yang sudah terbangun antara Uni Eropa dan Indonesia di bidang perlindungan HAM, termasuk Dialog HAM Ketujuh di Indonesia tahun ini."

Resolusi tersebut disetujui mayoritas anggota Parlemen Eropa, dan merupakan pembaharuan dari resolusi yang dikeluarkan bulan Januari 2017, dengan penambahan klausa mengenai mutilasi alat kelamin perempuan, intimidasi terhadap jurnalis, dan pembahasan kasus-kasus spesifik seperti 141 pria yang ditangkap karena "melanggar UU pornografi" di klub sesama jenis di Jakarta, (21/5).

Parlemen Eropa akan mengirimkan secara resmi isi resolusi kepada Majelis Eropa, Komisi Eropa, perwakilan tinggi Uni Eropa untuk urusan luar negeri dan kebijakan keamanan, pemerintah negara-negara Uni Eropa, DPR Indonesia, dan ASEAN, kata Emilie Tournier, Petugas Biro Pers Parlemen Eropa.

Pada Jumat (16/6), sehari setelah dikeluarkannya resolusi Parlemen Eropa, Sean Patrick Maloney, anggota DPR Amerika, beserta 35 anggota DPR lainnya melayangkan surat ke Duta Besar RI di Amerika Budi Bowoleksono, mengimbau Indonesia untuk mengambil sikap tegas melawan diskiminasi terhadap kaum LGBT, perempuan, dan minoritas lainnya — seiring dengan isi resolusi Parlemen Eropa.

"Kami sangat menghargai hubungan negara kami dengan Indonesia, demokrasi terbesar ketiga di dunia, pemimpin demokrasi di dunia Muslim, dan sekutu dekat dan mitra dagang," tulis surat itu. "Tahulah bahwa kami akan terus memantau situasinya dan berharap Indonesia akan secara proaktif memperbaiki kondisi hak asasi manusianya."

Andreas Harsono, peneliti Indonesia di Human Rights Watch, mengatakan pemerintah Indonesia berreaksi secara "kekanak-kanakan" terhadap masukan komunitas internasional terhadap kondisi HAMnya.

"Kalau kita malah ribut soal dari mana itu datang, saya khawatir akan terjadi masalah yang lebih serius di Indonesia," kata Andreas.

Menurut Andreas, dikecamnya kondisi HAM Indonesia di panggung internasional seperti Parlemen Eropa dan Kongres AS akan berdampak buruk bagi posisi internasionalnya — investor asing tidak akan tertarik lagi untuk menanam modal di Aceh karena kondisi HAMnya, sebagai contoh.

"Itu permintaan dari negara sahabat yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia, atau negara Indonesia," kata Andreas.

Pemerintah Indonesia seharusnya meninjau peraturan-peraturan diskriminatif yang ada, terutama yang muncul pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kata Andreas. Salah satunya, kata Andreas, adalah SKB No. 3 Tahun 2008 yang melarang penyebaran aliran Islam Ahmadiyah.

Beberapa aktivis sosial di Indonesia mengkritisi tanggapan pemerintah Indonesia terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut.

Yuli Rustinawati, salah seorang pendiri kelompok advokasi LGBT Arus Pelangi, mengatakan kekerasan terhadap kaum LGBT sudah terlalu merajalela, dan pemerintah perlu membahas perlakuan terhadap LGBT secara eksplisit.

"Dalam kurun waktu dua tahun, responnya [dari pemerintah] menurut saya rasa tidak ada ya — dialog-dialog,” kata Yuli. “Bahwa ada kekerasan itu fakta; bahwa ini harus dibicarakan, itu harus."

Gunawan Wibisono, seorang pria Indonesia yang menikah dengan pria Belanda, mengatakan pemerintah harus turun tangan mendidik masyarakat dalam memahami keragaman gender.

"Masyarakat umum sepertinya kurang paham," kata Gunawan. "Dengan kurang paham, mereka melakukan diskriminasi; dengan kurang paham, mereka melakukan prasangka."

Toleransi terhadap minoritas gender sudah diterapkan dalam budaya-budaya asli Indonesia, kata Gunawan. Masyarakat Bugis, misalnya, mengenali lima gender.

"Homofobia adalah konstruksi politik," ujar Gunawan. "Pendiri Indonesia sudah sadar menghilangkan kriminalisasi gender dengan cara mengakui semua masyarakat Indonesia dengan setara."

Hukum Indonesia tidak mengakui hubungan sesama jenis sebagai tindakan pidana. Namun, pada bulan Mei, dua pria di Aceh dicambuk 83 kali karena melakukan hubungan intim sesama jenis — kasus ini dikecam dalam resolusi Parlemen Eropa.

Aceh merupakan provinsi Indonesia yang berstatus daerah istimewa di mana hukum Syariah diterapkan.

Pemerintah Indonesia menandatangani memorandum perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka tahun 2005 di Helsinki. Memorandum tersebut memberikan Aceh otonomi untuk memerintah ranah publik sesuai dengan hukum Indonesia.

Beberapa aktivitas intoleran lainnya yang dikecam dalam resolusi tersebut antara lain hukuman mati terhadap pengedar narkoba pada tahun 2016 dan pemenjaraan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pada Mei 2017 atas kasus penistaan agama.

Kekerasan terhadap jurnalis Indonesia juga dikecam dalam resolusi tersebut. Peserta "aksi 112" di Masjid Istiqlal mengusir dua jurnalis Metro TV dan seorang jurnalis Global TV melalui intimidasi dan pemukulan di bulan Februari.

Indonesia merupakan satu dari 57 negara yang, hingga akhir Desember 2016, masih memberlakukan hukuman mati, menurut data lembaga nirlaba Death Penalty Information Center. Resolusi Parlemen Eropa menyebutkan terdapat 10 narapidana di Indonesia yang menunggu hukuman mati di tahun 2017.

Pada hari yang sama dengan dikeluarkannya resolusi tentang Indonesia, anggota Parlemen Eropa juga menyerukan pembebasan Afgan Mukhtarli, jurnalis asal Azerbajian, yang diculik dan dibawa ke Republik Georgia pada Senin (29/5), dan penghentian hukuman mati di Pakistan, menurut pernyataan pers Parlemen Eropa. [ds/pw]

Recommended

XS
SM
MD
LG