Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kinerja APBN pada April 2022 masih tercatat surplus Rp103,1 triliun. Kementerian Keuangan mencatat realisasi pendapatan negara dan hibah mencapai Rp853,6 triliun atau 46,23 persen dari target pada APBN 2022. Sementara itu, ungkap kementerian itu, realisasi belanja negara mencapai Rp750,46 triliun atau 27,65 persen dari pagu APBN 2022.
"Kalau kita lihat pertumbuhan 45,9 persen ini bagus sekali. Bulan lalu saja saja pertumbuhannya 32,1 persen, jadi ini masih naik. Dan di semua komponen pendapatan negara, semuanya mengalami pertumbuhan," jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers secara daring, Senin (24/5/2022).
Sri Mulyani merinci realisasi komponen pendapatan bersumber dari perpajakan yang mencapai Rp676,07 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mencapai Rp177,37 triliun, dan hibah mencapai Rp0,11 triliun.
Sedangkan belanja negara meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp508,03 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp242,43 triliun. Belanja pemerintah pusat tersebut antara lain untuk subsidi, kompensasi BBM, dan pembayaran pensiun.
"Semua belanja ini tumbuh kembali mulai April, karena kalau kita lihat Maret, pertumbuhannya masih negatif semua. Jadi ini sudah mulai akselerasi dari pemulihan belanja kita," tambahnya.
Kendati demikian, Sri Mulyani mengatakan, pemerintah tetap mewaspadai inflasi domestik yang mulai meningkat akibat kenaikan harga komoditas dan peningkatan tensi geopolitik. Ini supaya APBN tetap sehat sementara pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat tetap terjaga.
Menanggapi itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan pendapatan negara masih bisa dioptimalkan lagi, antara lain dengan menyidik kasus-kasus pajak yang mencurigakan. Ia mencontohkan data volume ekspor batu bara yang nilainya berbeda dengan data di negara tujuan ekspor.
Menurutnya, opsi tersebut dapat menambah penerimaan negara yang masih sebatas karena kenaikan harga komoditas dan revisi aturan pajak terbatas pajak pertambahan nilai (PPN) 11 persen, serta pengampunan pajak sukarela.
"Masih bisa didorong lagi penyidikan dari pertukaran data antar negara, kemudian disektor komoditas yang risiko miss-invoicing-nya tinggi juga celah itu bisa ditutup," jelas Bhima kepada VOA, Selasa (24/5/2022).
Bhima menambahkan pemerintah juga dapat menambah kontribusi pajak dari sektor industri. Caranya yaitu dengan menggeliatkan industri manufaktur yang menyumbang 30 persen pajak.
Sementara dari sisi belanja, Bhima menilai wajar jika anggaran digunakan untuk subsidi energi dan perlindungan sosial untuk menjaga inflasi dalam jangka pendek. Namun, ia mengingatkan pemerintah agar tetap melakukan belanja modal seperti infrastruktur pertanian dan penurunan biaya logistik agar memiliki daya saing.
"Wajar di hampir seluruh negara belanja subsidi realisasinya naik signifikan. Tapi perlu diperhatikan adalah belanja modal tetap perlu misalnya mendorong infrastruktur pertanian dan kawasan industri serta penurunan konsisten biaya logistik agar daya saing jangka panjang naik," tambahnya. [sm/ab]