Para pejabat Sudan selatan mengatakan serangan-serangan pemberontak di wilayah kaya minyak di sepanjang garis perbatasan dengan Sudan utara menewaskan sedikitnya enam orang dalam dua hari. Insiden itu terjadi selagi Sudan selatan menunggu saat dibukanya TPS-TPS untuk referendum kemerdekaan yang akan berlangsung seminggu.
Juru bicara Tentara Pembebasan Rakyat Sudan yang bertanggung jawab atas keamanan di Sudan selatan mengatakan serangan-serangan itu terjadi dalam bentrokan terpisah.
Ia mengatakan kelompok pemberontak yang menolak untuk menandatangani tawaran amnesti dari pemerintah Sudan selatan berupaya mengganggu referendum yang dijadwalkan dimulai hari Minggu.
Warga Sudan selatan minggu depan akan memutuskan dalam referendum apakah akan tetap bersatu dengan Sudan utara atau memisahkan diri untuk membentuk negara baru.
Presiden pemerintahan regional Sudan selatan, Salva Kiir, mengatakan pada malam referendum bahwa tidak ada pilihan lain kecuali hidup berdampingan secara damai dengan Sudan utara.
Presiden Sudan Omar al-Bashir, dalam kunjungan hari Selasa ke kawasan itu, berjanji akan menerima apapun hasil referendum dan membantu Sudan selatan.
Seorang pejabat pada Komisi Pemilihan, Francis Kenyi, mengatakan surat-surat suara telah dibagikan ke 26.000 TPS yang ada di seluruh negeri.
Kenyi mengatakan, "Kami telah mencapai tahap akhir distribusi karena hari ini adalah hari terakhir untuk menyelesaikan semuanya. Tugas sisanya harus dilakukan oleh orang-orang yang bekerja di TPS-TPS.”
Hampir empat juta warga terdaftar akan ikut referendum yang merupakan bagian dari persetujuan perdamaian yang berusia enam tahun untuk mengakhiri perang saudara yang telah berlangsung lebih dari dua dasawarsa.
Banyak tokoh terkemuka dari seluruh dunia, termasuk mantan presiden Jimmy Carter dari Amerika, Koffi Annan dari PBB, dan Thabo Mbeki dari Afrika Selatan, berada di negara itu untuk mengamati referendum itu bersama ratusan pemantau yang disebar di seluruh negeri itu.
Kepala Misi PBB di Sudan selatan, David Gressly, memperkirakan referendum akan berjalan tertib. Ia mengatakan,"Banyak pihak pesimistis kami tidak akan pernah berhasil sampai pada tahap ini, untuk melaksanakan referendum. Tetapi, sekali lagi Sudan nampaknya membingungkan banyak orang. Menurut saya, itu disebabkan karena kedua pihak bertekad untuk mencegah terjadinya lagi perang.”
Perang saudara di Sudan itu menewaskan kira-kira dua juta orang, kebanyakan warga sipil. Perang juga mengakibatkan kawasan yang miskin itu hampir tidak punya sekolah, rumah sakit dan infrastruktur.
Banyak warga Sudan selatan mengatakan kondisinya membaik sejak tercapai perjanjian perdamaian. Mereka berharap kemerdekaan akan mempercepat proses itu. Tetapi, warga Sudan utara mengatakan kemajuan lebih besar akan tercapai dengan adanya penyatuan kedua bagian wilayah Sudan.
Agar referendum sah, lebih dari 50 persen pemilih harus memilih setuju untuk pemisahan, dan jumlah pemberi suara harus melebihi 60 persen dari hampir empat juta orang yang berhak memberikan suara.