Selain mengundang lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB – yaitu Amerika, Rusia, Inggris, Perancis dan China – pemerintah Indonesia juga akan mengundang pejabat tinggi PBB dan Uni Eropa untuk menghadiri KTT Luar Biasa OKI tersebut. KTT Luar Biasa OKI ini secara khusus akan membahas soal masalah Palestina dan keberadaan masjid Al-Quds Asy-Syarif atau Al-Aqsa.
Direktur Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri Hasan Kleib dalam jumpa pers di kantornya, Kamis (25/2), menjelaskan bahwa kehadiran kelima negara tersebut sangat diperlukan karena mereka selama ini diberi legitimasi oleh masyarakat internasional untuk mengupayakan konflik Palestina-Israel.
Negara-negara tersebut akan melihat langsung bagaimana dan sejauh mana pandangan serta keinginan negara-negara OKI terhadap penyelesaikan Palestina. Di sisi lain tambahnya, negara-negara OKI juga bisa menanyakan dan mendengar dari negara-negara itu terkait sejauh mana langkah-langkah proses perdamaian yang dilakukan pasca terhenti pada Mei 2015 lalu.
Hasan Kleib menjelaskan, "Indonesia menyarankan dan mengusulkan dan telah disetujui oleh pihak Palestina, kita mengundang anggota dewan keamanan yang memiliki veto itu. Yang menarik seperti Rusia, dia datang dalam tiga kapasitas Rusia merupakan negara peninjau OKI, Rusia anggota kuartet dan Rusia anggota tetap. Amerika Serikat sebagai anggota kuartet dan juga sebagai anggota dewan keamanan. Indonesia melihat kehadiran kuartet dan dewan keamanan , mereka akan melihat bagaimana dan sejauh mana pandangan negara OKI terhadap penyelesaian masalah Palestina dengan fokus Yerusalem."
Lebih lanjut Hasan Kleib mengungkapkan dari 56 negara anggota OKI, sudah ada enam presiden yang sudah menyatakan akan hadir dalam KTT luar biasa OKI kelima ini, antara lain : Presiden Palestina Mahmoud Abbas dan Perdana Menteri Mesir Ibrahim Mahlab. Enam belas menteri luar negeri juga sudah memastikan akan datang.
Pemerintah Indonesia masih menunggu konfirmasi dari negara anggota OKI lainnya tambah Kleib. Menurutnya KTT Luar Biasa OKI di Jakarta ini nantinya akan menghasilkan dua dokumen, yaitu dokumen resolusi dan deklarasi.
Dokumen resolusi akan menegaskan kembali dukungan negara-negara OKI pada Palestina dan Yerusalem yang menjadi lokasi mesjid Al Aqsa. Sementara dokumen deklarasi akan akan lebih padat dan singkat, berisi langkah konkrit ke depan untuk menindaklanjuti hal-hal yang disepakati negara-negara OKI terkait Palestina dan Yerusalem.
Hasan memaparkan bahwa baik dokumen resolusi maupun resolusi tidak akan mengikat secara hukum. Sehingga tidak ada sanksi hukum jika kedua dokumen ini tidak dilaksanakan.
"KTT OKI sedang membahas suatu isu yang penting buat OKI dimana OKI dibentuk tahun 1969 itu pasca pembakaran mesjid Al Aqsa. Dan sekarang tahun 2016,kembali lagi ke isu yang sama yaitu Al Quds Asy-Syarif atau Al Aqsa. OLeh karena itu bagi OKI ini suatu isu yang betul-betul menyentuh perhatian dan kepentingan OKI," tambah Hasan.
Dalam Konferensi Yerusalem pertengahan Desember tahun lalu di Jakarta, Menteri Luar Negeri Palestina Riyad Al Maliki mengatakan negara dan lembaga-lembaga internasional berkewajiban untuk mengambil tindakan dan memastikan supaya Israel menghormati hukum internasional dan kondisi yang memungkinkan dimulainya kembali perundingan.
"Negara-negara di dunia harus melarang segala bentuk hubungan antara pemerintah, entitas , perusahaan dan warga negara dengan rezim pemukiman (Israel). Ini termasuk menolak pertemuan dengan para pemukim Yahudi, pejabat pemerintah Israel dan anggota Kenesset," ujar Riyad.
Penyelenggaraan KTT Luar Biasa OKI ini bertepatan dengan meletupnya intifadah ketiga di Tepi Barat sejak awal Oktober 2015 lalu. Konflik berdarah ini telah menewaskan hampir 200 warga Palestina dan 30 warga Israel. Gerakan intifadah pertama terjadi tahun 1987-1993, sementara intifadah kedua terjadi tahun 2000-2005. [fw/em]