BANDUNG —
Dalam peringatan Hari Tani Nasional, ribuan petani dari berbagai daerah di Jawa Barat berunjuk rasa di depan kantor Gubernur, Bandung, Selasa (24/9), menuntut pemerintah agar memperhatikan nasib para petani, terutama dalam hal kesejahteraan dan kepemilikan lahan pertanian.
Para petani juga menuntut agar Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960 benar-benar dilaksanakan oleh pemerintah. Pasalnya, selama ini para petani justru sering menjadi pihak yang termarjinalkan atau tersingkirkan dalam masalah sengketa lahan pertanian.
Saat ini jumlah buruh tani di Indonesia mencapai 13,4 juta orang, sedangkan jumlah petani gurem atau petani miskin 15 juta orang. Mereka dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Pasundan, Syafei Husin mengatakan, para petani kini semakin tersingkirkan oleh pola pembangunan ekonomi pemerintah saat ini. Sumber-sumber daya agraria dan penguasaan tanah dalam skala luas kini dimiliki oleh para pemodal besar, bukan mengandalkan tenaga-tenaga produktif petan, ujarnya.
“Isunya secara umum kita menuntut dijalankannya reformasi agraria seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. UU Pokok Agraria ini menekankan bahwa tanah itu harus diperuntukkan bagi petani penggarap, bagi mereka yang mau menggarapnya,” ujarnya.
Syafei menambahkan, kepemilikan lahan pertanian oleh pihak swasta maupun asing kini semakin meluas. Di Jawa Barat , 73 persen dari seluruh tanah pertanian dikuasai oleh perkebunan swasta, perusahaan negara dan pemodal asing. Sedangkan tanah milik rakyat hanya 16 persen dan itupun 70 persennya dikuasai bukan oleh petani melainkan pemilik tanah dari kalangan orang-orang kaya.
Bahkan jika ada masalah mengenai sengketa lahan antara petani dengan perusahaan swasta maupun asing, ujar Syafei, maka pihak petanilah yang selalu termarjinalkan atau tersingkirkan. Syafei mengatakan, salah satu kasus yang terjadi saat ini yaitu sekitar 50 ribu hektar sawah di Kabupaten Subang akan dikuasai oleh perusahaan sektor pertanian yang modalnya dimiliki oleh pengusaha Malaysia dan China.
“Rumah tangga-rumah tangga petani itu ya tersingkirkan dengan keluarnya ijin-ijin, konsesi-konsesi, dalam bentuk HGU (Hak Guna Usaha), dalam bentuk penguasaan hak kelola di wilayah kehutanan. Isu yang terakhir kami cermati, ada perusahaan di sektor pertanian yang modalnya dimiliki oleh pengusaha Malaysia dan China akan menguasai 50 ribu hektar sawah di Subang,” ujarnya.
Menurut Syafei, Indonesia merupakan negara agraris dan memiliki basis pertanian yang besar. Namun sangat tidak berdaulat dalam hal produk pangan. Dalam aksinya, para petani menyayangkan sikap pemerintah yang terlalu berpihak pada perusahaan perkebunan, bukan pada para petani.
“Sampai hari ini tidak pernah ada perusahaan perkebunan yang izinnya baru atau perpanjangan yang penguasaan luas tanahnya lebih dari 1 juta hektar di Jawa Barat tidak pernah tidak ada yang tidak ditandatangani oleh Gubernur (Jawa Barat),” ujarnya.
Upah riil buruh tani saat ini rata-rata Rp 27.000 per bulan, turun dari Rp 30.000 per bulan pada tahun-tahun sebelumnya. Upah tersebut sangat jauh di bawah batas Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan pemerintah.
Karenanya, peningkatan kesejahteraan petani juga menjadi salah satu tuntutan dalam aksi memperingati Hari Tani Nasional ke-53 yang diikuti 7500 petani se-Jawa Barat tersebut.
Para petani juga menuntut agar Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960 benar-benar dilaksanakan oleh pemerintah. Pasalnya, selama ini para petani justru sering menjadi pihak yang termarjinalkan atau tersingkirkan dalam masalah sengketa lahan pertanian.
Saat ini jumlah buruh tani di Indonesia mencapai 13,4 juta orang, sedangkan jumlah petani gurem atau petani miskin 15 juta orang. Mereka dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Pasundan, Syafei Husin mengatakan, para petani kini semakin tersingkirkan oleh pola pembangunan ekonomi pemerintah saat ini. Sumber-sumber daya agraria dan penguasaan tanah dalam skala luas kini dimiliki oleh para pemodal besar, bukan mengandalkan tenaga-tenaga produktif petan, ujarnya.
“Isunya secara umum kita menuntut dijalankannya reformasi agraria seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. UU Pokok Agraria ini menekankan bahwa tanah itu harus diperuntukkan bagi petani penggarap, bagi mereka yang mau menggarapnya,” ujarnya.
Syafei menambahkan, kepemilikan lahan pertanian oleh pihak swasta maupun asing kini semakin meluas. Di Jawa Barat , 73 persen dari seluruh tanah pertanian dikuasai oleh perkebunan swasta, perusahaan negara dan pemodal asing. Sedangkan tanah milik rakyat hanya 16 persen dan itupun 70 persennya dikuasai bukan oleh petani melainkan pemilik tanah dari kalangan orang-orang kaya.
Bahkan jika ada masalah mengenai sengketa lahan antara petani dengan perusahaan swasta maupun asing, ujar Syafei, maka pihak petanilah yang selalu termarjinalkan atau tersingkirkan. Syafei mengatakan, salah satu kasus yang terjadi saat ini yaitu sekitar 50 ribu hektar sawah di Kabupaten Subang akan dikuasai oleh perusahaan sektor pertanian yang modalnya dimiliki oleh pengusaha Malaysia dan China.
“Rumah tangga-rumah tangga petani itu ya tersingkirkan dengan keluarnya ijin-ijin, konsesi-konsesi, dalam bentuk HGU (Hak Guna Usaha), dalam bentuk penguasaan hak kelola di wilayah kehutanan. Isu yang terakhir kami cermati, ada perusahaan di sektor pertanian yang modalnya dimiliki oleh pengusaha Malaysia dan China akan menguasai 50 ribu hektar sawah di Subang,” ujarnya.
Menurut Syafei, Indonesia merupakan negara agraris dan memiliki basis pertanian yang besar. Namun sangat tidak berdaulat dalam hal produk pangan. Dalam aksinya, para petani menyayangkan sikap pemerintah yang terlalu berpihak pada perusahaan perkebunan, bukan pada para petani.
“Sampai hari ini tidak pernah ada perusahaan perkebunan yang izinnya baru atau perpanjangan yang penguasaan luas tanahnya lebih dari 1 juta hektar di Jawa Barat tidak pernah tidak ada yang tidak ditandatangani oleh Gubernur (Jawa Barat),” ujarnya.
Upah riil buruh tani saat ini rata-rata Rp 27.000 per bulan, turun dari Rp 30.000 per bulan pada tahun-tahun sebelumnya. Upah tersebut sangat jauh di bawah batas Upah Minimum Regional (UMR) yang ditetapkan pemerintah.
Karenanya, peningkatan kesejahteraan petani juga menjadi salah satu tuntutan dalam aksi memperingati Hari Tani Nasional ke-53 yang diikuti 7500 petani se-Jawa Barat tersebut.