Taiwan meloloskan sebuah paket reformasi kontroversial yang didorong oleh pihak oposisi pada Selasa (28/5). Langkah tersebut diambil meski muncul protes selama beberapa hari di jalanan di negara tersebut, di mana massa menolak undang-undang yang akan memberi kekuasaan lebih besar kepada anggota parlemen dalam hal pengawasan terhadap pemerintah.
Reformasi itu memberikan hak kepada anggota parlemen untuk meminta pihak militer, perusahaan swasta atau individu untuk mengungkapkan informasi yang dinilai relevan oleh anggota parlemen.
Undang-undang baru itu juga mengkriminalisasi penghinaan terhadap parlemen oleh pejabat-pejabat pemerintah, dan meminta presiden memberikan laporan rutin ke parlemen, dan menjawab berbagai pertanyaan anggota parlemen, yang akan menjadi yang pertama di Taiwan.
Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa, melawan undang-undang itu tetapi tidak memiliki suara cukup untuk memblokirnya.
Anggota parlemen dari DPP mencemooh aturan yang baru saja disahkan tersebut.
Mereka mengatakan bahwa reformasi itu dipaksakan tanpa cukup konsultasi dan isinya antara tidak jelas atau melebihi batas kekuasaan.
Di luar parlemen, ribuan orang menggelar protes.
Sebagian berteriak “tolak campur tangan politik China” karena perubahan itu dilihat sebagai semacam gerakan yang menguntungkan China.
“Saya mengkhawatirkan generasi masa depan. Lihat di politik China saat ini, ekonomi mereka buruk dan anak muda mereka tidak mau bekerja. Apakah mereka sebagus Taiwan yang demokratik?” kata Lee Si-yih, seorang demonstran berusia 65 tahun.
Protes tersebut terjadi di tengah kekhawatiran yang meluas terkait upaya China dalam memengaruhi politik di negara pulau itu.
China memandang Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan menyebut presiden baru negara itu, Lai Ching-te sebagai seorang “separatis.”
Lai menolak klaim kedaulatan China, dan mengatakan bahwa hanya rakyat di negara itu yang bisa memutuskan masa depan mereka, dan dia berulangkali menawarkan pembicaraan terkait hal tersebut.
Protes itu juga menunjukkan dukungan politik yang kuat yang dihadapi Lai.
Lai memenangkan jabatan presiden pada pemilu Januari lalu, tetapi partainya kehilangan posisi mayoritas di parlemen.
Partai oposisi utama Taiwan, Kuomintang (KMT), bersama dengan Partai Rakyat Taiwan yang kecil, bersatu menguasai lebih mayoritas kursi. [ns/lt]
Forum