Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Rizal Ramli, hari Senin (7/9) menurunkan secara tajam rencana Presiden senilai US$73 milyar (lebih dari Rp 1.000 triliun) untuk menambah kapasitas listrik 35.000 MW dalam lima tahun, dengan mengatakan hanya kurang dari setengah target itu yang bisa dicapai.
Namun dalam pernyataan yang tampaknya menyoroti semakin berkurangnya koordinasi kebijakan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan bahwa tidak ada perubahan dalam program listrik itu.
Presiden Jokowi bulan lalu meminta para menterinya untuk berhenti berselisih, karena hal itu mengganggu pemerintahan serta mengecewakan para investor dan pemilih yang berharap ia dapat membalikkan kondisi perekonomian.
April lalu, Presiden Jokowi meluncurkan rencana untuk membangun hampir 300 pembangkit listrik, dengan mengatakan hal itu penting untuk mengatasi kekurangan listrik yang parah dan membangkitkan pertumbuhan ekonomi.
"Tidak mungkin (target) 35.000 MW dapat dicapai dalam lima tahun, tapi mungkin bisa dalam 10 tahun," ujar Rizal.
"Kita harus melihat semuanya secara faktual dan logis," katanya, menambahkan bahwa target yang lebih realistis adalah menambah 16.000 MW sampai 2019.
Rencana awal tidak dapat dipertahankan karena Perusahaan Listrik Negara (PLN) tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan semua kapasitas tambahan tapi masih harus membayarnya, ujarnya.
Kontrak-kontrak dengan produsen swasta dapat memaksa PLN untuk membayar sampai $10,76 miliar per tahun untuk listrik yang tidak dapat digunakan, tambahnya.
Namun, Menteri ESDM Sudirman Said tidak sepakat dengan koordinatornya tersebut, dengan mengatakan bahwa rencana untuk menambah 35.000 MW masih layak.
"Sudah jelas tidak akan ada pengurangan dalam target 35.000 MW," ujar Sudirman. "Bahkan mungkin saat sedang berjalan, kita perlu meningkatkan target itu."
Para pejabat Istana berusaha menekan perselisihan di kabinet.
"Pemerintah tidak pernah membuat target," ujar Sekretaris Kabinet Pramono Anung. "Angka 35.000 MW itu keperluan mendasar untuk listrik di Indonesia, jadi pemerintah berharap memenuhinya."
Rizal pertama kali mengindikasikan bahwa rencana Presiden tidak realistis tak lama setelah diangkat dalam perombakan kabinet bulan lalu.
Komentarnya memicu perselisihan publik dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang ditugaskan oleh Presiden untuk mengawasi program listrik.
Meski ada sensitivitas politik dalam program tersebut, Rizal mengatakan ia mendukung Presiden.
"Kami telah melaporkan hal ini kepada presiden. Setelah saya jelaskan strategi ini, Presiden mengerti," ujarnya.