Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov mengatakan di Moskow bahwa Rusia memasok "sistem pertahanan anti-serangan udara" kepada Suriah dalam sebuah persetujuan "yang sama sekali tidak melanggar hukum internasional." Lavrov mengatakan, "kontras dengan yang dilakukan Amerika, yaitu memasok senjata bagi kelompok oposisi Suriah yang digunakan untuk menentang pemerintah Suriah."
Tanggapan Lavrov tersebut dikeluarkan setelah Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton mengatakan hari Selasa bahwa Amerika prihatin terhadap laporan bahwa Rusia mengirim helikopter tempur kepada pemerintah Suriah, sekutu lama Rusia.
Clinton juga menolak klaim Rusia bahwa pengiriman senjata kepada Suriah tidak terkait dengan pemberontakan, menyebutnya hal itu "sama sekali tidak benar." Clinton menambahkan, Amerika mendesak agar Rusia menghentikan pengiriman senjata tersebut.
Mengingat kuatnya hubungan ekonomi dan militer dengan Suriah, para pakar mengutarakan, Rusia menjadi pemeran kunci dalam krisis Suriah. Pemberontakan yang dilancarkan oleh penentang pemerintah kini memasuki bulan ke-15..
Rusia, dan sebelumnya Uni Soviet, selama bertahun-tahun memberi bantuan ekonomi dan militer kepada pemerintah Suriah, termasuk pesawat tempur MIG dan sistem pertahanan udara yang canggih.
Moskow juga mempertahankan fasilitas angkatan laut zaman Uni Soviet dulu di pelabuhan Tartus, Laut Tengah, dan berencana memodernisasi pangkalan laut tersebut untuk mengakomodasi kapal-kapal perang yang lebih besar, termasuk kapal induk.
Menurut para pakar, hubungan dekat Rusia dengan Suriah telah mewarnai reaksi Rusia terhadap krisis di Suriah. Rusia menampik upaya negara-negara Barat yang menentang Presiden Suriah Bashar al-Assad, bahkan ketika negara-negara penting di dunia, kecuali Tiongkok, telah mendesak agar Assad mundur.
Rusia ikut dengan Tiongkok dalam memveto sebuah resolusi DK PBB yang menyerukan agar presiden Suriah itu meletakkan jabatan. Menteri Luar Negeri AS, Clinton, menyebut pemungutan suara itu "suatu kesalahan besar."
Stephen Cohen, gurubesar di Universitas Princeton dan Universitas New York, mengemukakan, Moskow menggunakan hak vetonya karena merasa dikhianati sewaktu Rusia bersikap abstain terhadap sebuah resolusi DK PBB yang memberlakukan zona larangan terbang di atas Libya bulan Maret tahun lalu.
"Rusia diberitahu bahwa tidak akan ada kekerasan, hanya penegakan zona larangan terbang di atas wilayah Libya yang dikuasai Moammar Khadafi," demikian Cohen. "Ketika pasukan NATO pimpinan Amerika melancarkan perang terhadap Khadafi di Libya, Moskow menilai hal itu sebagai pengingkaran janji."
Cohen menambahkan, Moskow bertekad untuk tidak mempercayai janji Amerika lagi dalam hal penggunaan kekerasan.
Tanggapan Lavrov tersebut dikeluarkan setelah Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton mengatakan hari Selasa bahwa Amerika prihatin terhadap laporan bahwa Rusia mengirim helikopter tempur kepada pemerintah Suriah, sekutu lama Rusia.
Clinton juga menolak klaim Rusia bahwa pengiriman senjata kepada Suriah tidak terkait dengan pemberontakan, menyebutnya hal itu "sama sekali tidak benar." Clinton menambahkan, Amerika mendesak agar Rusia menghentikan pengiriman senjata tersebut.
Mengingat kuatnya hubungan ekonomi dan militer dengan Suriah, para pakar mengutarakan, Rusia menjadi pemeran kunci dalam krisis Suriah. Pemberontakan yang dilancarkan oleh penentang pemerintah kini memasuki bulan ke-15..
Rusia, dan sebelumnya Uni Soviet, selama bertahun-tahun memberi bantuan ekonomi dan militer kepada pemerintah Suriah, termasuk pesawat tempur MIG dan sistem pertahanan udara yang canggih.
Moskow juga mempertahankan fasilitas angkatan laut zaman Uni Soviet dulu di pelabuhan Tartus, Laut Tengah, dan berencana memodernisasi pangkalan laut tersebut untuk mengakomodasi kapal-kapal perang yang lebih besar, termasuk kapal induk.
Menurut para pakar, hubungan dekat Rusia dengan Suriah telah mewarnai reaksi Rusia terhadap krisis di Suriah. Rusia menampik upaya negara-negara Barat yang menentang Presiden Suriah Bashar al-Assad, bahkan ketika negara-negara penting di dunia, kecuali Tiongkok, telah mendesak agar Assad mundur.
Rusia ikut dengan Tiongkok dalam memveto sebuah resolusi DK PBB yang menyerukan agar presiden Suriah itu meletakkan jabatan. Menteri Luar Negeri AS, Clinton, menyebut pemungutan suara itu "suatu kesalahan besar."
Stephen Cohen, gurubesar di Universitas Princeton dan Universitas New York, mengemukakan, Moskow menggunakan hak vetonya karena merasa dikhianati sewaktu Rusia bersikap abstain terhadap sebuah resolusi DK PBB yang memberlakukan zona larangan terbang di atas Libya bulan Maret tahun lalu.
"Rusia diberitahu bahwa tidak akan ada kekerasan, hanya penegakan zona larangan terbang di atas wilayah Libya yang dikuasai Moammar Khadafi," demikian Cohen. "Ketika pasukan NATO pimpinan Amerika melancarkan perang terhadap Khadafi di Libya, Moskow menilai hal itu sebagai pengingkaran janji."
Cohen menambahkan, Moskow bertekad untuk tidak mempercayai janji Amerika lagi dalam hal penggunaan kekerasan.