Rusia, Turki dan Iran gagal menyepakati zona de-eskalasi di Suriah dalam perundingan damai yang dilangsungkan di Kazakhstan. Demikian ujar sejumlah diplomat hari Rabu (5/7).
Rusia dan Iran yang mendukung Presiden Suriah Bashar Al Assad, sepakat untuk bekerjasama dengan Turki yang mendukung pemberontak, untuk membentuk zona “de-eskalasi” di negara yang dikoyak perang itu.
Ketiga negara itu berharap bisa mencapai konsensus selambat-lambatnya pada akhir Agustus ketika mereka bertemu kembali di Astana.
Kegagalan hari Rabu itu merupakan kemunduran bagi Rusia, sebagai pihak yang melangsungkan perundingan damai itu, ketika berupaya memimpin upaya global untuk mengakhiri perang selama enam tahun di Suriah.
“Dalam beberapa konsultasi pihak Turki mengatakan membutuhkan lebih banyak waktu untuk membuat keputusan yang tepat,” ujar perunding senior Rusia Alexander Lavrentyev.
Bashar Al Ja’afari, ketua tim perunding pemerintah Suriah, memberikan komentar yang lebih langsung terhadap posisi Turki. “Delegasi Turki menolak untuk mengadopsi dokumen apapun yang terkait dengan implementasi mekanisme perjanjian tentang zona de-eskalasi itu,” ujar Ja’afari.
Delegasi Turki tidak membuat pernyataan apapun setelah perundingan itu, tetapi Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dalam wawancara dengan stasiun televisi France-24 Senin malam (3/7) mengatakan akan membahas isu itu dengan Putin di sela-sela KTT G20 di Hamburg pekan ini.
Perundingan putaran sebelumnya di Kazakhstan yang dilangsungkan pararel dengan perundingan damai yang dimediasi PBB di Jenewa, tidak memberi kemajuan berarti. Gencatan senjata yang diumumkan Mei lalu, yang masih menyorot soal “zona de-eskalasi”, telah berulangkali dilanggar.
Menurut perkiraan PBB, perang saudara di Suriah menewaskan lebih dari 320 ribu orang. PBB telah membentuk komisi penyelidikan terhadap laporan penyiksaan, pembunuhan semena-mena dan kekejaman lain yang dilakukan oleh semua pihak dalam konflik itu. [em/jm]