Kian maraknya kekerasan seksual di beragam lokasi – rumah tangga, wilayah konflik dan bencana, atau kampus dan tempat kerja – membuat banyak pihak menilai pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pembahasan RUU ini sudah dilakukan secara intensif antara pemerintah dan DPR selama beberapa tahun dan akan dimaksimalkan pasca pemilu nanti.
Vennetia R. Danes, Deputi Bidang Perlidungan Hak Perempuan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dalam sebuah diskusi mengatakan RUU yang secara terang-terangan akan berpihak kepada korban itu dapat membela korban kekerasan seksual dari kesewenang-wenangan. RUU tersebut juga akan mengatur soal rehabilitasi bagi pelaku, bukan sekadar memberi hukuman.
"Jadi RUU PKS ini akan berpihak pada korban, akan melindungi perempuan, di mana perempuan adalah ibu bangsa. Ibu bangsa ini harus menelurkan anak-anak, generasi yang bermutu," ujar Vennetia.
Vennetia mengatakan tahun lalu saja kementeriannya mencatat adanya 7.206 korban kekerasan seksual. Namun, angka ini menurutnya hanyalah puncak gunung es, karena banyak yang tidak melaporkan dengan beragam alasan.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati mengatakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan bagian dari upaya mengubah paradigma supaya masyarakat tidak lagi melakukan kekerasan seksual. Ia mengingatkan pemerintah dan masyarakat sipil pernah meluncurkan komitmen tidak toleransi terhadap beragam bentuk kekerasan terhadap perempuan, tetapi belum sepenuhnya mencapai sasaran, padahal kekerasan seksual di Indonesia sudah mencapai tahap darurat. Komnas Perempuan mencatat pada tahun 2017 misalnya tindakan incest atau kekerasan seksual sedarah merupakan angka tertinggi kategori kekerasan seksual.
Dari kasus-kasus itu hanya sekitar 10% yang diadukan ke otorita berwenang, dan hanya 5% yang masuk ke pengadilan. Sementara yang divonis hingga sekitar 2-3%.
Tindak kekerasan seksual selalu dilihat dari norma kesusilaan, ini terlihat dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Rancangan KUHP yang memasukkan tindakan ini ke dalam bab kesusilaan.
"Karena nanti korbannya tidak terlindungi, justeru disalahkan kembali. Komentar-komentar selama ini kita rekam secara kultural dari masyarakat, bahkan korbannya sendiri, keluarganya, para tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, bahkan para penyelenggara negara menyalahkan perempuan," ujar Nurherwati.
Dampaknya, kata Nurherwati, negara tidak cukup optimal merespon kekerasan seksual sehingga korbannya – yang kebanyakan perempuan – tidak terlindungi. Kalau tidak terlindungi maka korban tidak bisa melewati masa pemulihan. Jika tidak pulih dan terus trauma, bagaimana kualitas hidup perempuan menjadi korban kekerasan seksual.
Nurherwati mengingatkan Indonesia termasuk dalam negara yang berkomitmen untuk memajukan dunia yang bebas dari kekerasan, terutama kekerasan terhadap kaum hawa. Indonesia sudah menerbitkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Kemudian ada Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender.
Lebih lanjut Nurherwati mengungkapkan ada empat tujuan ditetapkan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, yakni mencegah kekerasan seksual, menindak pelaku kekerasan seksual (termasuk rehabilitasi), memulihkan korban, dan meletakkan kewajiban negara dalam penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Dia menegaskan kekerasan seksual tidak lagi bisa disebut sebagai aib. Korban harus didorong untuk berani berbicara dan negara harus menyediakan infrastruktur agar kekerasan seksual tidak berulang.
Nurherwati menambahkan basis perumusan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah pengalaman korban. Dia mengatakan keterlibatan keluarga akan mendukung proses pemulihan trauma korban sehingga kekerasan tidak terjadi lagi.
Komisioner Komnas Perempuan itu juga mendefinisikan kekerasan seksual sebagai perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, atau perbuatan lain yang menyerang terhadap tubuh, hasrat seksual, fungsi reproduksi secara paksa karena ada pertentangan relasi antara kuasa dan jenis kelamin. Secara paksa maksudnya yang bertentangan dengan kehendak atau yang menyebabkan seseorang tidak mampu memberikan persetujuan secara bebas.
Eni Gustina, Sekretaris Direktorat Jenderal kesehatan masyarakat di Kementerian Kesehatan menjelaskan dampak dari kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak itu luar biasa. Akibat jangka pendeknya adalah trauma, luka, pendarahan, infeksi, dan bahkan sampai mengakibatkan kematian. Sedangkan dampak jangka panjangnya adalah dampak sosial, ekonomi.
Menurut Eni, sekitar empat ribu pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) sudah terlatih dalam menangani korban kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Dia mengatakan Kementerian Kesehatan sudah melatih para dokter untuk mengidentifikasi adanya kekerasan seksual.
Tenaga kesehatan kata Eni juga dilatih untuk dapat menggali cerita dari korban kekerasan seksual. Sebab mereka biasanya takut, malu, atau trauma untuk menceritakan kejadian buruk yang mereka alami.
Selain itu, lanjutnya, sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 68 Tahun 2014 tentang Wajib Lapor.
"Wajib lapor dalam hal ini tenaga kesehatan ketika menemukan atau mengidentifikasi kemungkinan ini adalah korban kekerasan (seksual), dia mempunyai kewajiban untuk menginformasikan kepada petugas hukum, dalam hal ini kepolisian," tukas Eni.
Eni menambahkan sudah saatnya petugas kesehatan yang melaporkan adanya korban kekerasan seksual kepada polisi mencatat dengan rinci tanda-tanda kekerasan seksual yang dialami korban sehingga dapat digunakan dalam proses hukum selanjutnya. (fw/em)