KIGALI, RWANDA —
Presiden Rwanda Paul Kagame hari Senin (7/4) menyampaikan penghormatan kepada para korban genosida Rwanda tahun 1994 dan memuji pemulihan cepat negaranya dalam waktu 20 tahun. Presiden Kagame juga menyitir masyarakat internasional, menyusul perselisihan diplomatik dengan Perancis.
Para pemimpin Afrika dan kepala negara asing berkumpul dalam suatu upacara peringatan di ibukota Rwanda, yang dimulai dengan upacara penyalaan dian “National Flame of Mourning” atau “Dian Duka Nasional” di Kigali Genocide Memorial.
Tanggal 7 April menandai dimulainya pembantaian 20 tahun lalu, ketika milisi etnis Hutu memulai pembantaian etnis Tutsi dan Hutu moderat yang tidak ikut serta dalam pembantaian itu. Sekitar 800 ribu orang tewas dalam waktu 100 hari.
Presiden Rwanda Paul Kagame menyampaikan penghormatan kepada para korban dalam upacara peringatan yang diselenggarakan di Stadion Amahoro – Kigali.
“Sewaktu kita menyampaikan penghormatan kepada para korban – baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal – kita juga menghormati semangat warga Rwanda yang tidak terpatahkan, yang membuat kita berhutang budi atas kelangsungan hidup dan pemulihan negara kita,” kata Kagame.
Ribuan orang memadati stadion untuk menyimak pidato serta menyaksikan pertunjukkan dan pemutaran sebuah video guna memperingati pembantaian itu.
Jeritan dan tangis ratapan terdengar di tengah masa ketika beberapa orang tidak bisa mengendalikan emosi mereka. Orang-orang yang bertugas menenangkan massa pun turut sedih.
Beberapa mantan pemimpin dan pemimpin saat ini dari berbagai negara juga hadir dalam acara itu, tetapi Perancis menarik delegasinya untuk memprotes pernyataan Presiden Rwanda Paul Kagame yang menuding Perancis ikut berperan dalam perencanaan dan pembantaian itu. Perancis sejak semula membantah klaim tersebut.
Perancis sebelumnya merupakan negara Barat pendukung utama pemerintah Rwanda sebelum genosida itu dan melatih tentara pemerintah yang didominasi etnis Hutu.
Meski tidak menyebut secara langsung tentang perselisihan dengan Perancis itu, Presiden Paul Kagame mengatakan warga Rwanda masih terus mencari “penjelasan konkrit” terhadap genosida itu.
Ia menegaskan, “Orang tidak bisa disuap dan dipaksa mengubah sejarah mereka dan tidak ada negara yang cukup berpengaruh – meskipun merasa diri mereka cukup kuat – untuk mengubah fakta-fakta tersebut”.
Masyarakat internasional telah dikecam karena tidak melakukan cukup banyak hal untuk mencegah genosida itu meski sudah beberapa kali diberi peringatan.
Berbicara dalam upacara peringatan itu, Sekjen PBB Ban Ki-Moon mengakui kekurangan itu.
“Banyak personil PBB dan beberapa pihak lain yang menunjukkan keberanian luar biasa, tetapi kita sebenarnya bisa melakukan lebih banyak hal. Kita seharusnya melakukan lebih banyak hal lagi,” kata Ban Ki-moon.
Ban Ki-Moon menambahkan bahwa masyarakat internasional masih harus belajar dari Rwanda, mengingat kegagalan menghentikan konflik di Republik Afrika Tengah dan di Suriah.
Para pemimpin Afrika dan kepala negara asing berkumpul dalam suatu upacara peringatan di ibukota Rwanda, yang dimulai dengan upacara penyalaan dian “National Flame of Mourning” atau “Dian Duka Nasional” di Kigali Genocide Memorial.
Tanggal 7 April menandai dimulainya pembantaian 20 tahun lalu, ketika milisi etnis Hutu memulai pembantaian etnis Tutsi dan Hutu moderat yang tidak ikut serta dalam pembantaian itu. Sekitar 800 ribu orang tewas dalam waktu 100 hari.
Presiden Rwanda Paul Kagame menyampaikan penghormatan kepada para korban dalam upacara peringatan yang diselenggarakan di Stadion Amahoro – Kigali.
“Sewaktu kita menyampaikan penghormatan kepada para korban – baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal – kita juga menghormati semangat warga Rwanda yang tidak terpatahkan, yang membuat kita berhutang budi atas kelangsungan hidup dan pemulihan negara kita,” kata Kagame.
Ribuan orang memadati stadion untuk menyimak pidato serta menyaksikan pertunjukkan dan pemutaran sebuah video guna memperingati pembantaian itu.
Jeritan dan tangis ratapan terdengar di tengah masa ketika beberapa orang tidak bisa mengendalikan emosi mereka. Orang-orang yang bertugas menenangkan massa pun turut sedih.
Beberapa mantan pemimpin dan pemimpin saat ini dari berbagai negara juga hadir dalam acara itu, tetapi Perancis menarik delegasinya untuk memprotes pernyataan Presiden Rwanda Paul Kagame yang menuding Perancis ikut berperan dalam perencanaan dan pembantaian itu. Perancis sejak semula membantah klaim tersebut.
Perancis sebelumnya merupakan negara Barat pendukung utama pemerintah Rwanda sebelum genosida itu dan melatih tentara pemerintah yang didominasi etnis Hutu.
Meski tidak menyebut secara langsung tentang perselisihan dengan Perancis itu, Presiden Paul Kagame mengatakan warga Rwanda masih terus mencari “penjelasan konkrit” terhadap genosida itu.
Ia menegaskan, “Orang tidak bisa disuap dan dipaksa mengubah sejarah mereka dan tidak ada negara yang cukup berpengaruh – meskipun merasa diri mereka cukup kuat – untuk mengubah fakta-fakta tersebut”.
Masyarakat internasional telah dikecam karena tidak melakukan cukup banyak hal untuk mencegah genosida itu meski sudah beberapa kali diberi peringatan.
Berbicara dalam upacara peringatan itu, Sekjen PBB Ban Ki-Moon mengakui kekurangan itu.
“Banyak personil PBB dan beberapa pihak lain yang menunjukkan keberanian luar biasa, tetapi kita sebenarnya bisa melakukan lebih banyak hal. Kita seharusnya melakukan lebih banyak hal lagi,” kata Ban Ki-moon.
Ban Ki-Moon menambahkan bahwa masyarakat internasional masih harus belajar dari Rwanda, mengingat kegagalan menghentikan konflik di Republik Afrika Tengah dan di Suriah.