BANDUNG —
Persoalan sampah menjadi masalah di setiap kota besar, tak terkecuali Bandung. Bahkan, beberapa tahun silam, Kota Bandung pernah dijuluki sebagai “Kota Lautan Sampah”, akibat pengelolaan sampah yang tidak baik.
Namun, di sebuah sudut Kota Bandung, ada seorang perempuan yang sangat peduli dengan keberadaan sampah, yaitu Dewi Kusmianti, yang berhasil mengubah tumpukan sampah yang menggunung menjadi pupuk kompos dan biogas.
Ibu tiga anak yang dulunya sempat merasakan hidup di jalanan sebagai pengamen ini, memulai perjuangannya untuk bergelut dengan sampah dengan pemikiran yang sederhana.
Sang suami, Tonton Paryono, yang bekerja sebagai petugas pengangkut sampah, sering mengeluh karena sampah yang diangkutnya di RW 11, Cibangkong, Kota Bandung, semakin hari semakin menggunung. Pasalnya, sejak 1997, Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung tidak lagi mengangkut sampah tersebut ke Tempat Pembuangan Akhir atau TPA, karena masyarakat di kawasan tersebut enggan membayar retribusi sampah.
Khawatir dengan keselamatan sang suami yang sewaktu-waktu bisa tewas tertimbun sampah, Dewi mulai mendapatkan ide untuk membentuk bank sampah. Sampah organik ia beri harga Rp 50 per kilogram, sedangkan sampah non-organik ia beri harga Rp 400 per kilogram. Ia juga membentuk sebuah komunitas dengan warga sekitar yang dinamakan komunitas ‘My Darling’, singkatan dari Masyarakat Sadar Lingkungan.
“Ya cerita awalnya mah karena suami jadi tukang sampah, terus lihat keadaan sampah banyak. Nggak semua orang peduli, pura-pura nggak kelihatan atau gimana, saya nggak tahu. Jadi saya merasa khawatir melihat suami harus ketimpa sama sampah itu gimana gitu,” ujarnya.
Selain membentuk bank sampah, Dewi juga mulai berinisiatif membersihkan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) di kawasan RW 11, Cibangkong, dengan mengolah sampah tersebut menjadi pupuk kompos cair dan biogas yang dinamakan bio methane green. Biogas inilah yang kemudian menjadi berkah dari sampah yang paling berharga.
Di saat harga gas elpiji sedang melambung saat ini, warga di kawasan tempat tinggal Dewi justru tidak merasakan dampaknya. Penggunaan biogas secara mandiri telah mengurangi beban ekonomi mereka. Selain murah, kualitas biogas dari sampah juga cukup bagus. Bahkan, biogas buatan Cibangkong ini bisa menjadi sumber energi genset untuk kebutuhan listrik dengan kekuatan seribu watt.
“Kalau dari panas mah sama panasnya, bahkan bagus apinya, biru. Keunggulan lainnya itu aman. Jadi saat dibakar langsung dari selangnya itu tidak meledak. Tekanannya memang rendah, terus juga tidak menimbulkan bau yang berlebihan. Pokoknya mah segala-galanya praktis, ekonomis gitu lah, enak,” ujarnya.
Ketua RT setempat, Suryadi mengatakan, sepak terjang Dewi dalam mengurusi sampah sangat dirasakan dampaknya oleh warga sekitar. TPS yang dulunya kotor dan dipenuhi sampah hingga ke jalanan, kini tampak bersih, rapi, dan tidak berbau.
Kesadaran masyarakat lewat bank sampah dengan memilah sampah organik dan non organik di rumah, mengurangi volume sampah di kawasan tersebut. Berkat hal itu, RW 11, Cibangkong, Kota Bandung pun mendapatkan berbagai penghargaan dan pengakuan sebagai kawasan yang sangat ramah lingkungan.
“Kalau masalah sampah carut marut, (Dewi) membantu sekali. Ya sampah dikelola di sana semuanya. Karena itu sampah kan tidak bau, diolah jadi tidak bau. (Sampah) jadi nggak masalah,” ujarnya.
“Lebih baik hidup dari sampah, daripada hidup menjadi sampah.” Itulah slogan yang dipegang teguh oleh Dewi Kusmianti. Lewat sampah lah ia bisa mengubah kehidupan keluarganya, bahkan bisa mengubah budaya dan kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Lewat sampah pula, Dewi sedikitnya telah membantu Pemerintah Kota Bandung dalam menangani pengelolaan sampah itu sendiri. Baginya, sampah membawa berkah.
Namun, di sebuah sudut Kota Bandung, ada seorang perempuan yang sangat peduli dengan keberadaan sampah, yaitu Dewi Kusmianti, yang berhasil mengubah tumpukan sampah yang menggunung menjadi pupuk kompos dan biogas.
Ibu tiga anak yang dulunya sempat merasakan hidup di jalanan sebagai pengamen ini, memulai perjuangannya untuk bergelut dengan sampah dengan pemikiran yang sederhana.
Sang suami, Tonton Paryono, yang bekerja sebagai petugas pengangkut sampah, sering mengeluh karena sampah yang diangkutnya di RW 11, Cibangkong, Kota Bandung, semakin hari semakin menggunung. Pasalnya, sejak 1997, Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung tidak lagi mengangkut sampah tersebut ke Tempat Pembuangan Akhir atau TPA, karena masyarakat di kawasan tersebut enggan membayar retribusi sampah.
Khawatir dengan keselamatan sang suami yang sewaktu-waktu bisa tewas tertimbun sampah, Dewi mulai mendapatkan ide untuk membentuk bank sampah. Sampah organik ia beri harga Rp 50 per kilogram, sedangkan sampah non-organik ia beri harga Rp 400 per kilogram. Ia juga membentuk sebuah komunitas dengan warga sekitar yang dinamakan komunitas ‘My Darling’, singkatan dari Masyarakat Sadar Lingkungan.
“Ya cerita awalnya mah karena suami jadi tukang sampah, terus lihat keadaan sampah banyak. Nggak semua orang peduli, pura-pura nggak kelihatan atau gimana, saya nggak tahu. Jadi saya merasa khawatir melihat suami harus ketimpa sama sampah itu gimana gitu,” ujarnya.
Selain membentuk bank sampah, Dewi juga mulai berinisiatif membersihkan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS) di kawasan RW 11, Cibangkong, dengan mengolah sampah tersebut menjadi pupuk kompos cair dan biogas yang dinamakan bio methane green. Biogas inilah yang kemudian menjadi berkah dari sampah yang paling berharga.
Di saat harga gas elpiji sedang melambung saat ini, warga di kawasan tempat tinggal Dewi justru tidak merasakan dampaknya. Penggunaan biogas secara mandiri telah mengurangi beban ekonomi mereka. Selain murah, kualitas biogas dari sampah juga cukup bagus. Bahkan, biogas buatan Cibangkong ini bisa menjadi sumber energi genset untuk kebutuhan listrik dengan kekuatan seribu watt.
“Kalau dari panas mah sama panasnya, bahkan bagus apinya, biru. Keunggulan lainnya itu aman. Jadi saat dibakar langsung dari selangnya itu tidak meledak. Tekanannya memang rendah, terus juga tidak menimbulkan bau yang berlebihan. Pokoknya mah segala-galanya praktis, ekonomis gitu lah, enak,” ujarnya.
Ketua RT setempat, Suryadi mengatakan, sepak terjang Dewi dalam mengurusi sampah sangat dirasakan dampaknya oleh warga sekitar. TPS yang dulunya kotor dan dipenuhi sampah hingga ke jalanan, kini tampak bersih, rapi, dan tidak berbau.
Kesadaran masyarakat lewat bank sampah dengan memilah sampah organik dan non organik di rumah, mengurangi volume sampah di kawasan tersebut. Berkat hal itu, RW 11, Cibangkong, Kota Bandung pun mendapatkan berbagai penghargaan dan pengakuan sebagai kawasan yang sangat ramah lingkungan.
“Kalau masalah sampah carut marut, (Dewi) membantu sekali. Ya sampah dikelola di sana semuanya. Karena itu sampah kan tidak bau, diolah jadi tidak bau. (Sampah) jadi nggak masalah,” ujarnya.
“Lebih baik hidup dari sampah, daripada hidup menjadi sampah.” Itulah slogan yang dipegang teguh oleh Dewi Kusmianti. Lewat sampah lah ia bisa mengubah kehidupan keluarganya, bahkan bisa mengubah budaya dan kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Lewat sampah pula, Dewi sedikitnya telah membantu Pemerintah Kota Bandung dalam menangani pengelolaan sampah itu sendiri. Baginya, sampah membawa berkah.