Politikus senior hingga pengamat politik merespons pernyataan Presiden Joko Widodo ketika menghadiri pelantikan pengurus pusat partai Hati Nurani Rakyat atau HANURA di Bogor, Selasa malam (21/2).
Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo mengatakan demokrasi di Indonesia kini kebablasan dan memunculkan politik ekstrem seperti liberalisme, sektarianisme, radikalisme, hingga terorisme yang bertentangan dengan Pancasila. Presiden menegaskan penyebaran fitnah, kabar bohong, hujatan, dan pernyataan bernuansa Suku, Agama, Ras, dan Antar-Golongan atau SARA menjurus pada upaya memecah belah bangsa.
Politikus senior Partai Golkar, Akbar Tandjung, ketika menghadiri pengukuhan ketua Komisi Yudisial, Aidul Fitriciada, sebagai guru besar di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) di Sukoharjo, Kamis siang (23/2) mengatakan demokrasi sudah lama teruji sebagai sistem ideologi yang digunakan di Indonesia yang tertuang dalam Pancasila dan Konstitusi.
Menurut Akbar Tandjung, jika presiden menganggap demokrasi kebablasan maka perlu pembenahan sesuai konstitusi yang berlaku. “Kita pahami demokrasi sebagai suatu sistem yang sudah teruji, berbasis kepada ideologi dasar negara kita yakni Pancasila dan konstitusi. Dalam aktualisasinya, tentu ada proses yang bisa saja aktualisasinya itu menggambarkan, memperlihatkan seolah-olah terjadi kebebasan yang berlebihan, ada istilah dikatakan kebablasan," kata Akbar Tandjung.
"Saya menyebutnya itu proses, trial and error. Kita coba, dalam pelaksanaannya ada kekurangan atau kekeliruan, ya kita perbaiki. Penegakan hukum, penghormatan keanekaragaman itu esensi demokrasi kita, harus memperkuat dengan melakukan pelurusan yang kita anggap, katakanlah, menyimpang,” lanjutnya.
Pada kesempatan yang sama dengan mantan ketua DPR Akbar Tandjung tersebut, respons terhadap pernyataan presiden juga diungkapkan oleh pengamat politik, Refly Harun. Menurut Refly, Indonesia sedang belajar berdemokrasi. Refly mencontohkan pilkada serentak menjadi tantangan baru berdemokrasi di Indonesia.
“Ada sengketa pilkada, ada yang kurang puas dengan hasil pilkada, itu belum efektif, itu tantangan bagi kita. Jadi berdemokrasi itu ya ada sistemnya, ada step, langkah-langkahnya, ada menghargai kultur, menghargai sistemnya, menghargai hukumnya. Jadi todak boleh sembarangan. Sekali lagi, kalau demokrasi dianggap kebablasan, saya menganggapnya bukan seperti itu. Indonesia sedang belajar berdemokrasi,” kata Refly Harun.
Kutipan pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Demokrasi di Indonesia kebablasan menjadi sajian utama berbagai media massa dan media sosial. Pernyataan Presiden ini menjadi viral dan bahasan populer.
Presiden menekankan politik ekstrem sebagai ujian bagi Indonesia dan berharap segera dihentikan. Presiden menegaskan kunci tersebut yaitu penegakan hukum dan ketegasan aparat hukum. [ys/lt]