"Halo, apa kabar?" Terdengar suara sedikit kurang jelas dari seorang gadis 17 tahun, mengenakan jilbab putih dan celana jeans abu-abu. Namanya Zab dan dia tinggal di antara lebih dari 79.000 warga Suriah lainnya yang berada di di kamp pengungsi Zaatari di Yordania utara.
Dia berbicara dalam bahasa Inggris yang sangat baik kepada Mohannad Jaber, yang berdiri di dalam peti kemas yang diubah, di lobi Markas Besar PBB di New York.
Mohannad bisa melihat gambarnya diproyeksikan pada dinding bagian dalam peti kemas itu, yang telah dibuat kedap suara dan dilengkapi peralatan audio-visual untuk komunikasi dengan alat seperti Skype, dan bagian luarnya dicat dengan warna emas mengkilap.
"Berbicaralah dalam bahasa Arab," kata Mohannad mendesak. Mereka mengobrol selama sekitar 10 menit. Mohannad, yang bekerja untuk United Muslim Relief, sebuah LSM, meminta Zad menjelaskan tentang kehidupan di kamp. Zad mengatakan, di sana sangat panas dan tidak ada listrik, sehingga mereka tidak dapat menghidupkan kipas angin.
Tapi pembicaraan itu dengan cepat berubah menjadi lebih serius. Zad menghimbau untuk mendapat kesempatan pendidikan yang lebih baik bagi kaum muda pengungsi, terutama untuk kuliah di universitas dan menyatakan keprihatinan tentang perkawinan dini.
"Dia mengatakan banyak keluarga yang mendorong anak-anak mereka untuk menikah karena kurangnya uang," kata Mohannad.
Tingkat pertumbuhan pernikahan dini atau kawin paksa merupakan salah satu akibat perang saudara di Suriah, yang sekarang sudah memasuki tahun keenam dan telah menyebabkan 5 juta orang mengungsi ke luar negeri, sementara 6,6 juta lainnya terlantar di dalam negeri. Yordania, Lebanon dan Turki menjadi tuan rumah orang-orang yang melarikan diri.
Menghubungkan pengungsi dan warga kota New York adalah ide Amar Chopra Bakshi dan Michelle Moghtader dari Shared Studios, sebuah lembaga seni, desain dan teknologi. [ps/ii]