Robert Cratius, diaspora Indonesia berusia 40 tahun yang menetap di Philadelphia, merasa kini ia harus lebih waspada dibanding sebelum merebaknya pandemi virus corona. Bukan karena pandemi yang sudah menelan lebih dari 550 ribu korban jiwa, tetapi karena virus lain yang lebih berbahaya, yaitu virus sentimen terhadap warga Asia. “Kalau dibanding sebelum COVID-19, saya merasa harus lebih waspada,” ujar Robert ketika diwawancarai VOA, Jumat (19/3) lalu.
Butet Luhcandradini, yang sudah 12 tahun tinggal di Amerika dan kini menetap di Silver Spring, Maryland, juga merasakan hal yang sama. Butet mengaku pada dasarnya ia penakut dan sering khawatir jika mendengar insiden penembakan massal, “tapi sekarang jadi lebih menghindar lagi jalan sendiri malam-malam.... atau pulang dari Metro (kereta api.red) ke parkiran jadi agak takut-takut,” ujarnya. “Dulu yang meresahkan kalau ketemu tunawisma yang kumat. Sekarang lebih takut lagi karena persentase orang yang kena aksi kekerasan naik. Bukan hanya dari tunawisma,” tambahnya.
Hal senada disampaikan Wulan Surgener, ibu satu putri yang sudah 15 tahun menetap di Charlottesville, Virginia, dan “jadi lebih khawatir ketika berada di tempat umum.”
Sama seperti Henny Kusumawati, yang sejak 2011 tinggal di Atlanta, Georgia, kota di mana insiden penembakan yang menewaskan delapan orang – termasuk enam perempuan Asia – terjadi Selasa lalu (16/3).
"Terus terang perasaan saya bercampur. Yang terutama rasa sedih karena sejak awal saya menginjakkan kaki di sini, semua welcome, tidak pernah ada rasisme atau peristiwa apapun. Bahkan ketika negara-negara bagian lain dilanda sentimen anti-Asia, di sini tidak terjadi apa-apa. Kok sekarang begini? Saya jadi waspada ke tempat-tempat yang saya tidak familiar,” ujarnya lirih.
Juga Daniel Fu, ayah dua anak yang sudah puluhan tahun menetap di Atlanta, Georgia. “Atlanta sebenarnya tidak seperti New York atau tempat-tempat lain di Amerika. Atlanta itu tenang. Tapi dengan kejadian kemarin, saya jadi was-was karena ternyata orang dari negara atau bangsa tertentu ternyata bisa juga jadi target di sini,” paparnya.
Hampir 4.000 Kasus Sentimen Anti-Asia
Insiden penembakan yang menewaskan delapan orang, termasuk enam perempuan Asia, di tiga spa terpisah di Atlanta itu disebut-sebut sebagai puncak menguatnya sentimen anti-Asia di Amerika sejak pandemi merebak Maret lalu.
Stop AAPI Hate -- suatu LSM yang dibentuk untuk menanggapi meningkatnya diskriminasi anti-Asia sejak bermulanya pandemi virus corona Maret 2020 lalu -- menyebut penembakan di Atlanta ini sebagai “tragedi yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata” dalam komunitas yang selama ini sudah mengalami begitu banyak tindakan diskriminatif.
Laporan yang baru saja dirilis Stop AAPI Hate menunjukkan peningkatan laporan sentimen anti-Asia sejak Maret 2020 hingga Februari 2021, yang jumlahnya kini mencapai 3.795 kasus. Enam puluh delapan persen kasus itu merupakan pelecehan secara verbal, tetapi ada pula serangan fisik dan serangan di dunia maya. Laporan itu menunjukkan perempuan 2,3 kali lebih sering menjadi sasaran dibandingkan laki-laki.
Mempersiapkan Anak
Robert yang memiliki dua anak, dan Wulan yang memiliki seorang anak, bertambah khawatir menjelang dimulainya kembali sekolah tatap mula April ini.
“Unfortunately pemimpin kita sebelumnya menormalisasi terminologi KungFlu atau virus China, dll. Anak-anak melihat dan mempelajari hal ini, dan bisa jadi akan menggunakannya juga. Bullying sudah jadi masalah sejak lama di sini. Saya khawatir ini akan menjadi lebih parah dengan adanya masalah COVID-19 di mana orang Asia dijadikan kambing hitam," papar Robert.
"Kita tahu ini akan terjadi di sekolah. Merupakan tugas saya untuk memberitahu pejabat sekolah agar menyadari isu ini dan bersiap menghadapinya,” tambahnya. Lebih jauh ia mengatakan sedang merancang email untuk mengingatkan urgensi isu ini pada guru, kepala sekolah, anggota dewan sekolah hingga kepala dinas pendidikan di mana ia berada.
Sementara Wulan tidak saja khawatir pada putrinya, tetapi juga anak-anak Asia lain. “Kebetulan muka anak saya gak terlalu Asia banget dan sejauh ini dia bersahabat dengan teman-teman sekelasnya. Sekolahnya juga kecil, kelas dua SD hanya ada dua kelas. Secara keseluruhan saya tidak khawatir sama dia, tapi saya khawatir dengan anak Asia di sekolah-sekolah lain. Saya rajin bilang ke anak saya, kalo temen kamu ada yang di-bully, kamu jangan diam saja, harus berani stand up (membela.red) teman kamu!” ujarnya semangat.
Jangan Biarkan Teror Menang
Namun Agatha Bun, diaspora Indonesia lain yang tinggal di San Diego, California, memberi pandangan lain. Ia mengatakan tidak pernah sedikit pun takut dengan berbagai insiden yang terjadi. “Aman! Justru dengan berperasaan dan berpikir tentang semua yang berbau kecemasan dan ketakutan, ini menjadi 'makanan' tidak sehat bagi tubuh,” ujar ibu dua anak ini penuh rasa optimis.
Agatha mengatakan tahu persis situasi rumit yang saat ini ada, “begitu besar intoleransi, banyak yang percaya hoaks, sampai sikap pemimpin yang memanas-manasi, dan kurang pengetahuannya masyarakat akan suatu isu,” tapi perempuan yang berprofesi sebagai agen real-estat, menegaskan “jangan pernah biarkan teror di Bumi mana pun menang!” Ia berharap dapat menularkan semangat dan sikap positif ini pada banyak warga dan diaspora Indonesia di Amerika agar berani bicara terbuka terhadap ketidaksukaan pada warga Asia.
Lima warga dan diaspora Indonesia lain yang diwawancarai VOA sepakat dengan hal itu.
“Hukum di sini jalan, polisi mau tidak mau masih harus memproses tiap laporan, jadi kita punya kesempatan untuk speak up! Banyak orang yang mau menjadi ally (sekutu.red) dan mendukung kita,” ujar Robert Cratius.
“Kita harus bersatu. Lakukan apa yang harus kita lakukan, jangan jadi penonton saja. Harus berani bicara. Ini bukan saatnya untuk diam, berdiri, bicara dan jadi ally,” tegas Wulan.
“Tetap waspada tapi bangun sebanyak mungkin teman dan jaringan. Kembalikan kondisi aman di tempat kita,” ujar Daniel Fu bersemangat.
Meski tidak menyatakan secara terbuka, Butet Luhcandradini dan Henny Kusumawati pun mengatakan akan tetap melanjutkan aktivitas mereka seperti biasa karena “kita tentu tidak bisa terus menerus khawatir dan diam di rumah saja kan?”
Dorong Warga untuk “Speak Up”
Presiden Amerika Joe Biden dan Wakil Presiden Kamala Harris pada hari Jumat (19/3) terbang ke Atlanta, Georgia, untuk menyampaikan langsung rasa belasungkawa kepada korban dan komunitas Asia di Amerika, dan sekaligus berdialog dengan pemimpin komunitas ini. Mereka kembali menyampaikan komitmen untuk melawan pelecehan dan kekerasan terhadap warga Asia di Amerika.
“Sikap diam adalah pembiaran. Kita tidak dapat membiarkan hal ini,” tegas Biden. “Mereka (warga Amerika keturunan Asia.red) telah diserang, dipersalahkan, dikambinghitamkan dan dilecehkan. Mereka telah dilecehkan secara verbal, diserang secara fisik dan dibunuh,” ujar Biden, yang juga menyoroti soal krisis kekerasan dengan senjata api dalam dialognya dengan pemimpin komunitas Amerika keturunan Asia di Atlanta.
Sementara Wakil Presiden Kamala Harris, keturunan Asia Selatan pertama yang menduduki jabatan tinggi di pemerintahan, juga menyoroti isu lain selain rasisme, yaitu seksisme. “Rasisme adalah hal yang nyata di Amerika. Xenophobia adalah hal yang nyata di Amerika. Seksisme juga,” ujarnya.
Lagi-lagi, Kamala menggarisbawahi bahwa ia dan Presiden Biden tidak akan berdiam diri. “Kami akan selalu bicara terbuka menentang kekerasan, kejahatan bermotif kebencian dan diskriminasi, di mana pun dan kapan pun itu terjadi.” Ia mendorong semua orang melakukan hal serupa. [em/ah]