Sekitar 20 perempuan Muslim berjilbab yang khawatir dengan meningkatnya retorika anti-Muslim di AS, memperhatikan instruktur bela diri mereka menunjukkan cara memukul penyerang.
"Kiai!" teriak Rana Abdelhamid, warga Mesir Amerika yang memiliki ban hitam dalam karate, saat mendemonstrasikan pukulan tersebut.
"Saya melawan -- Kiai! Harus sekeras itu suaranya ya," ujar Abdelhamid, aktivis hak asasi manusia Muslim dan warga Queens, New York, kepada kelompok itu.
Para murid kemudian mengikuti arahannya, beberapa berteriak lebih keras dari yang lainnya.
Pelatihan yang diluncurkan Abdelhamid untuk para perempuan tersebut merupakan salah satu dari sejumlah kelas serupa di seluruh Amerika Serikat yang muncul karena kelompok Muslim merasa menghadapi peningkatan ancaman.
Perasaan itu diperkuat seruan kandidat calon presiden Partai Republik Donald Trump Desember lalu untuk melarang Muslim masuk ke negara itu.
"Anda bisa diserang kapan saja. Anda bisa didorong...dari pinggir rel kereta bawah tanah," ujar Abdelhamid. Ia menambahkan bahwa kerudung dan hijab terkadang membuat perempuan-perempuan Muslim menjadi target.
Salah satu perempuan di kelas itu, Kristin Garrity Sekerci, warga Amerika yang menjadi mualaf, mengatakan ia ingin bisa membela diri jika diserang.
"Kami tampak menonjol. Tidak adil, tapi itulah realitasnya. Jadi kami harus melengkapi diri untuk dapat menghadapinya," ujar Sekerci, yang bekerja dengan Bridge Initiative, sebuah program yang melacak Islamophobia, di Georgetown University, Washington.
Kelompok-kelompok advokasi Muslim seperti Dewan Hubungan Amerika Islam (CAIR) mengatakan kejahatan bias anti-Muslim telah naik tiga kali lipat sejak terjadinya serangan oleh militan-militan Islamis di Paris bulan November dan penembakan oleh ekstremis Muslim di San Bernardino, California, bulan Desember.
Sekitar 80 persen korban dalam insiden-insiden tersebut adalah perempuan, menurut para pengurus CAIR.
"Para perempuan Muslim sangat perlu melindungi diri dalam masyarakat ini," ujar juru bicara CAIR Ibrahim Hooper.
Bridge Initiative mengatakan Muslim di AS lima kali lebih rentan menjadi korban kejahatan kebencian dibandingkan sebelum serangan-serangan 11 September 2001.
Para perempuan di kelas Abdelhamid termasuk seorang warga Palestina yang bekerja di Departemen Pertahanan atau Pentagon dan warga Yaman separuh baya yang sedang belajar Bahasa Inggris.
"Rasanya ada aliran adrenalin di tubuh dan kita ingin menaklukan dunia," ujar Hind Essayegh yang berasal dari Afghanistan, setelah kelas usai. "Sangat memberdayakan." [hd]