Untuk memperingati "Hari Toleransi Internasional" yang diadakan setiap tanggal 16 November, SETARA Institute meluncurkan indeks kota toleran 2015, yang merupakan hasil penelitian 94 kota dari total 98 kota di seluruh Indonesia dari 3 Agustus hingga 13 November 2015.
Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, Senin (16/11) menjelaskan di kelima kota tersebut tidak ditemukan peraturan daerah yang diskriminatif. Selain itu, tambahnya rencana pembangunan jangka menengah di kota itu juga mendorong jaminan kebebasan berkeyakinan dan beragama seperti adanya program bagi komunitas lintas agama untuk saling berdialog. Dan di lima kota ini juga tidak ditemukan adanya kasus intoleransi.
Setara Institute juga menyebutkan bahwa Bogor, Bekasi, Banda Aceh, Depok, dan Tangerang merupakan kota yang sangat intoleran. Hal itu karena banyak kasus yang menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan di kota itu serta banyaknya peraturan daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat yang diskriminatif terhadap kelompok minoritas.
Pemerintah daerah di kota-kota ini menurut Bonar lebih mengakomodir keinginan kelompok mayoritas demi kepentingan politik mereka. Bonar berharap indeks kota toleran ini dapat menjadi bahan masukan bagi Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan penilaian atau evaluasi terhadap kota-kota tadi.
Ini juga dapat dijadikan Kemendagri lanjut Bonar untuk mengevaluasi perda-perda diskriminatif dan mendesak pemerintah daerah yang masuk katagori intoleran untuk melakukan perubahan.
"Kemendagri melihat apa yang dilakukan pemerintah daerah untuk memperbaiki kurang, bisa menggunakan pendekatan budgeting jadi menahan sejumlah alokasi budget sebagai bentuk punishment," kata Bonar.
Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo menyatakan menerima masukan dari siapapun termasuk dari Setara Institute. Dia menegaskan tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapapun termasuk kelompok tertentu.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin mengatakan kementeriannya sekarang ini masih terus mengintensifkan pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Umat Beragama yang nantinya akan sangat efektif.
"Karena dengan Undang-undang itu maka segala sesuatunya bisa jelas bagaimana penyikapan kita terhadap persoalan-persoalan keagamaan yang selama ini belum ada basis legalitasnya," ujar Lukman Hakim.
Lukman mengatakan peraturan mengenai pendirian rumah ibadah tetap diperlukan tetapi mungkin perlu disempurnakan.
Sebelumnya, Setara Institute juga pernah melakukan survei tentang persepsi siswa sekolah menengah tentang toleransi beragama dan radikalisme. Hasilnya dari 684 responden, sebanyak 8,5 persen mengatakan tahu dan setuju dengan paham ISIS.
Kondisi ini tambahnya disebabkan derasnya arus informasi mengakui media termasuk internet. Untuk itu, menurutnya peran guru sangat penting dalam hal ini. Sekolah juga diharapkan dapat menyiapkan psikolog sosial agar dapat memahami kepribadian murid, sehingga pemikiran seperti ini dapat diluruskan.
Bonar mengakui jika hal ini dibiarkan bisa menjadi bibit untuk menyebarkan ajaran radikal.
Ia menjelaskan, "Memang agak sulit tetapi begini usia-usia krusial, pancaroba yang labil secara psikologi, mental yang bisa saja berubah tergantung stimulus yang dia dapatkan. Di situlah peran-perah ahli psikologi, ahli kejiwaan, tokoh-tokoh agama yang bisa masuk."
Setara melakukan survei terhadap siswa 76 SMU di Jakarta dan 38 SMU di Bandung (meliputi Cimahi, Kabupaten Bandung, dan kota Bandung) antara tanggal 9-19 Maret lalu. Penelitian itu menggunakan metode wawancara dan kuesioner. [fw/ii]