Setelah berhasil mengungguli tujuh pesaing kuatnya dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar di Nusa Dua, Bali, awal pekan ini, Setya Novanto terpilih sebagai ketua umum partai yang pernah berkuasa lama di Indonesia itu.
Banyak pihak menyambut baik kemenangan Setya, yang dinilai bisa mempersatukan kembali partai beringin itu dan meredam konflik internal partai.
Tetapi pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Syamsudin Haris, mengatakan Rabu (18/5) bahwa sulit bagi Setya untuk memajukan partai itu secara eksternal.
Selain karena ia terlibat kasus hukum yang belum selesai, mantan ketua DPR itu juga terlibat kasus etik, ujarnya.
Sejumlah kasus hukum Setya Novanto yang hingga kini belum tuntas antara lain kasus pembangunan lokasi penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Riau.
KPK sempat memeriksa Setya yang diduga mengalirkan dana sebesar Rp 900 juta rupiah ke DPR untuk memuluskan anggaran PON Riau dalam penetapan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Satu kasus lain yang menarik perhatian masyarakat adalah soal pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Selain itu orang tentu masih ingat kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden dalam permintaan saham kepada PT Freeport Indonesia.
"Bersaing secara elektoral justru tidak, seperti kita ketahui Setya Novanto agak bermasalah, punya masalah etik, kasus hukum yng belum tuntas tapi itu pilihan DPD Golkar Se-Indonesia. Kemampuan Setya Novanto dalam memobilisasi dana bagi Golkar yang lebih dilihat ketimbang soal integritas, moralitas dan komitmen etis dan sebagainya," ujar Syamsudin.
Syamsudin juga menilai pernyataan Setya bahwa partainya siap mendukung Presiden Joko Widodo dalam pemilihan umum 2019 sebagai hal yang terlalu dini.
Sebelumnya Partai Golkar merupakan salah satu partai yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP), koalisi yang menyatakan akan beroposisi dengan pemerintah.
Dengan keluarnya Partai Golkar dari KMP maka koalisi oposisi yang kini hanya terdiri dari Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dinilai akan semakin melemah. Untuk jangka panjang hal ini akan merugikan proses demokrasi politik di Indonesia.
"Bandul politik di DPR jelas berubah. KMP kekuatannya tinggal Gerindra, PKS yang lainnya sudah memilih mendukung Jokowi," ujar Syamsudin.
Sebelumnya, Setya mengatakan akan melakukan rekonsiliasi mulai dari tingkat pusat hingga daerah terlebih dulu, sebelum memikirkan rencana eksternal.
Rekonsiliasi ini, menurutnya, penting untuk merapatkan barisan dalam menghadapi sejumlah pemilihan kepala daerah. Setya juga menegaskan Golkar akan bekerjasama dengan pemerintah.
"Untuk mendukung Pak Jokowi dan Bapak Jusuf Kalla untuk terus bekerjasama karena partai Golkar adalah partai yang mitra dengan pemerintah. Kita sudah menjalankan visi negara kesejahteraan," ujarnya.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan dengan adanya dukungan dari partai yang meraih suara kedua terbanyak di DPR ini maka urusan lobi-lobi di DPR diharapkan akan lebih mudah sehingga pemerintah pun lebih stabil dan kinerjanya berjalan lebih cepat.
Meski demikian, Pramono mengaku hingga kini berlum pernah ada pembicaraan mengenai jatah kursi dalam kabinet untuk Partai Golkar.