September tahun ini, isu bangkitnya gerakan komunis di tanah air atau Partai Komunis Indonesia (PKI) meruap dan menghangatkan situasi politik di dalam negeri. Apalagi setelah Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo memerintahkan seluruh anak buahnya untuk menggelar acara nonton bareng film Pengkhianatan G30S PKI.
Ketika rezim Orde Baru masih berkuasa, film garapan sutradara Arifin C. Noer tersebut biasanya diputar setiap 30 September malam di stasiun Televisi Republik Indonesia. Namun, film bercerita mengenai pemberontakan PKI pada 30 September 1965 ini dihentikan penayangannya setelah Presiden Soeharto dilengserkan pada 1998.
Saiful Mujani Reseacrh & Consulting (SMRC) berusaha menjelaskan isu kebangkitan PKI berkembang di masyarakat ini melalui survei yang dilakukan selama 3-10 September lalu. Survei ini melibatkan 1.220 responden dipilih secara acak, namun yang bisa diwawancarai secara tatap muka hanya 1057 orang dari seluruh wilayah di Indonesia dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Saat melansir hasil survei itu di kantornya di Jakarta, Jumat (29/9), peneliti SMRC Sirojudin Abbas menjelaskan hasil dari jajak pendapat yang dilakukan lembaganya menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia tak setuju atau tidak meyakini kebenaran isu PKI bangkit lagi di tanah air.
"(Sebanyak) 86,8 persen mengatakan tidak setuju dengan pendapat bahwa sekarang ini sedang ada kebangkitan PKI. Yang mengatakan setuju hanya 12,6 persen. Artinya, sebagian besar warga negara Indonesia mengatakan tidak setuju dengan pendapat itu. Menurut mereka, tidak ada kebangkitan PKI saat ini," ungkap Sirojudin.
Sirojuddin menambahkan sebanyak 75,1 persen responden tidak percaya Presiden Joko Widodo adalah orang PKI atau terkait dengan PKI. Hanya 5,1 persen responden yang setuju Joko Widodo itu memiliki hubungan dengan PKI.
Lebih lanjut Sirojudin menjelaskan dari hasil survei itu SMRC menyimpulkan opini masyarakat tentang adanya kebangkitan PKI cukup beririsan dengan pendukung Prabowo Subianto dan beberapa penyokong partai politik, terutama PKS dan Gerindra.
Selain itu, menurut Sirojudin, SMRC menemukan opini tentang kebangkitan PKI cenderung lebih banyak di kalangan muda, perkotaan, terpelajar, dan sejumlah daerah tertentu, terutama Banten, Sumatera, dan Jawa Barat. Semua demografi ini beririsan dengan pendukung Prabowo.
"Isu kebangkitan PKI yang ditujukan untuk memperlemah dukungan rakyat kepada Jokowi, misalnya dengan mengaitkan Jokowi sebagai anggota partai atau anak orang PKI, tampaknya bukan pilihan isu strategis yang berpengaruh, karena yang percaya juga kecil," imbuhnya.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Thamrin Amal Tamagola mengakui jawaban responden tidak percaya PKI bangkit lagi, merupakan jawaban normatif dan untuk mencari posisi aman.
Menurut Thamrin, tidak ada lahan yang subur di Indonesia secara sosial dan budaya untuk tumbuhnya pikiran-pikiran radikal, baik itu yang ekstrem kiri atau komunis dan ekstrem kanan atau khilafah.
"Semua yang radikal sebaliknya ditolak secara nurani politik oleh masyarakat-masyarakat yang ada di Indonesia. Sehingga di situ tidak ada lahan yang subur buat bangkitnya sesuatu yang radikal, termasuk komunis," ujar Thamrin.
Thamrin menekankan dirinya tidak percaya PKI sebagai partai bangkit lagi di Indonesia. Sebab seluruh sistem PKI sudah hancur lebur oleh Orde Baru.
Tapi kalau ideologi, lanjut Thamrin, yang namanya ideologi Marxis dan komunis ada di Indonesia. Terutama banyak dianut sebagian anak muda dan progresif dan kekiri-kirian.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik di Universitas Pertahanan Salim Said mempertanyakan kenapa SMRC mengaitkan kebangkitan PKI dengan Prabowo Subianto, Partai Keadilan Sejahtera, dan Gerindra?
"Pertanyaan saya, apa penting mengemukakan faktor Prabowo dan PKS serta Gerindra. Sebab ini bisa mempunyai dampak (survei SMRC ini) dicurigai sebagai bias," kata Salim.
Lebih lanjut Salim menjelaskan kesimpulan SMRC tersebut bisa memicu munculnya sangkaan Prabowo memobilisasi isu kebangkitan PKI. Namun, dia menekankan tidak ada perubahan sosial dan politik di Indonesia tanpa adanya mobilisasi dari elite.
Meski begitu, dia meminta SMRC berhati-hati dengan kesimpulan yang mengaitkan isu kebangkitan PKi dengan Prabowo, PKS, dan Gerindra. Salim menegaskan situasi politik menghangat saat ini merupakan permainan dari para elite.
Selain itu, Salim juga mempertanyakan kenapa SMRC mengaitkan isu kebangkitan PKI sebagai upaya buat melemahkan pemerintahan Presiden Joko Widodo. [fw/lt]