Dua tahun terakhir, gadis remaja asal Swedia, Greta Thunberg, menjadi ikon dunia dalam perjuangan melawan krisis iklim. Ia sudah dua kali dinominasikan untuk Hadiah Nobel, dipilih majalah Time sebagai Sosok Tahun 2019, dan menerima seabrek penghargaan atas upayanya menuntut aksi nyata para pemimpin dunia untuk mengatasi krisis iklim.
Kegigihannya berangkat dari penelitian para ilmuwan selama puluhan tahun yang mencatat semakin parahnya dampak perubahan iklim terhadap planet Bumi. Tahun lalu, lebih dari 11.000 ilmuwan dari seluruh dunia telah mendeklarasikan dengan “jelas dan tanpa diragukan lagi bahwa planet Bumi tengah menghadapi darurat iklim,” seperti dikutip dari jurnal ilmiah BioScience, 5 november 2019.
Di Amerika, politikus yang juga anggota parlemen AS, Alexandria Ocasio-Cortez, lantas gencar mengampanyekan the Green New Deal, rancangan undang-undang untuk mengatasi krisis iklim dan ketimpangan ekonomi.
Lalu pada awal Desember, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, mendeklarasikan status darurat iklim – menyusul Inggris, Bangladesh dan puluhan negara lainnya – untuk mendorong kebijakan-kebijakan rendah-karbon demi Selandia Baru yang netral karbon pada 2025.
Sosok-sosok seperti Thunberg, Ocasio-Cortez hingga PM Ardern yang kerap mengangkat isu krisis iklim ke ranah publik menciptakan diskursus di masyarakat – sesuatu yang krusial untuk mendorong kesadaran akan masalah perubahan iklim.
“Semakin sering muncul ke dalam publik, itu kan bisa terekam dalam ingatan publik,” kata Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia, Hurriyah, kepada VOA (7/12).
Peran politikus juga dianggap signifikan dalam memerangi krisis iklim, terlebih bagi yang duduk di kursi legislatif dan eksekutif, di mana mereka berwenang membuat kebijakan yang berdampak luas.
Krisis Iklim Bukan Isu Prioritas Politikus Indonesia
“Kayaknya nggak ada ya, karena mungkin itu bukan jadi prioritas utama politikus sekarang,” kata Clevelyn (27), karyawan swasta di Jakarta, saat ditanya VOA siapa politikus Indonesia yang menurutnya getol mendorong isu krisis iklim.
“Belum pernah nemu di TV atau media sosial tentang pemerintah atau anggota DPR yang benar-benar fokus secara intens menyuarakan perubahan iklim di Indonesia dan dampak-dampaknya,” ungkap Bayu (27), mahasiswa S2 di salah satu perguruan tinggi di Bandung.
Sementara Irlani (29), ibu rumah tangga di Tangerang Selatan, menjawab, “Kang Emil (red: Ridwan Kamil), tapi dia biasanya bahas daerahnya aja.”
Lain lagi dengan Chrystine (30), wiraswasta di Jakarta, yang teringat politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany dan Menteri BUMN Erick Thohir saat ditanya hal serupa.
Pada umumnya isu krisis iklim belum menjadi prioritas politikus Indonesia, kata Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia, Hurriyah. Meski Indonesia aktif dalam berbagai kesepakatan dan konvensi internasional yang bertujuan menanggulangi masalah perubahan iklim, termasuk Perjanjian Iklim Paris tahun 2015, sebagian besar politikus menganggap isu itu tidak populis.
“Isu climate change ini masih menjadi isu tersier, bahkan dia belum masuk ke isu sekunder. Dia masih dianggap isu pinggiran yang posisinya masih lebih tidak penting dibanding isu-isu seperti ekonomi, kesehatan,” jelas Hurriyah kepada VOA.
Kecenderungan politikus untuk lebih melirik isu-isu populis tak lepas dari masalah lemahnya ideologi partai. Kalaupun ada pengaruh ideologi, biasanya masih terjebak dalam persoalan nasionalis dan agamis, kata Hurriyah. Itu sebabnya partai politik belum menjadi wadah yang mendukung politikus Indonesia dengan ideologi yang kuat untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diyakininya.
“Itu yang menurut saya juga berkontribusi kenapa kemudian politisi kita jarang mau membicarakan isu-isu nonpopulis, salah satunya isu climate change,” katanya.
“Ketika dia belum menjadi garis partai, belum menjadi isu yang dianggap penting buat partai, ya dianggap nggak ada relevansinya. Mungkin itu ada di pikiran, tapi ya disimpan aja di dalam pikiran, karena dianggap nggak electable isu itu.”
Pandangan yang sama diutarakan ekonom lingkungan, Andhyta Firselly Utami, yang akrab disapa Afu. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kegentingan isu krisis iklim berkelindan dengan politik elektoral para politikus.
“Ini semacam chicken and egg (red: ayam dan telur),” kata Afu saat dihubungi VOA melalui Skype (8/12). “Secara umum, melihat Indonesia sebagai negara kepulauan yang tersebar di mana-mana dan ada ratusan juta penduduknya, mungkin isu krisis iklim tidak top of mind di masyarakatnya sendiri, sehingga pada saat yang bersamaan politisinya juga tidak melakukan proses politik yang edukatif, di mana dalam berkampanye, saat mencoba mendapatkan elektoral, tidak juga mengedukasi bahwa ini adalah isu yang penting.”
Menurut hasil survei daring yang dilakukan Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org September lalu, 89% warga muda aktif merasa khawatir atau sangat khawatir tentang dampak krisis iklim, di mana 97% di antaranya berpendapat bahwa dampak krisis iklim setidaknya sama atau lebih parah dari dampak pandemi Covid-19. Survei itu diikuti 8.379 responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia, di mana mayoritasnya berusia 20-30 tahun dan merupakan pengguna aktif media sosial.
Afu sendiri menjelaskan, bila dalam 10 tahun ke depan tidak ada kebijakan apapun yang diambil untuk mengurangi dampak krisis iklim, sejumlah skenario bisa terjadi, dari 4,2 juta orang pesisir yang terancam pindah akibat peningkataan permukaan air laut, hingga krisis pangan akibat gagal panen yang disebabkan kekeringan berkepanjangan.
“Di Singapura itu pernah ada museum of the future, intinya mereka menggambarkan kondisi dalam skenario krisis iklim terjadi,” ungkapnya, “mereka harus memproduksi makanannya sendiri lewat hidroponik di rumah, dan mereka di kulkasnya itu ada resep kecoa goreng sebagai alternatif makanan, karena sebagian spesies akan sudah terdampak, sudah punah. […] Mungkin tipe-tipe inisiatif atau inovasi seperti ini juga bisa membantu orang-orang Indonesia semakin menyadari sebenarnya apa sih krisis iklim ini,” kata Afu.
Perjuangan yang ‘Nggak Gampang’
Anggota Komisi VII DPR RI, Dyah Roro Esti, yang membidangi energi, riset dan teknologi, menampik anggapan bahwa politikus Senayan tidak menjadikan isu krisis iklim sebagai perhatian mereka. Dalam wawancara melalui Skype (12/12), pendiri lembaga non-profit Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I) itu mengaku kolega-koleganya memiliki keprihatinan yang sama dalam masalah perubahan iklim. Ia menggambarkannya dalam komitmen mereka untuk mendorong Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT).
“Saya kan mewakili fraksi Golkar, saya punya pandangan ini dan sudah saya kemukakan. Lalu saya juga harus membujuk teman-teman lain dari fraksi lain untuk ibaratnya mempunyai persepsi yang sama dan mempunyai concern yang sama. Kemarin yang saya temukan, ternyata teman-teman, misalnya dari Fraksi PDIP, lalu fraksi Gerindra, fraksi PKB, PKS, mayoritas dari fraksi-fraksi yang ada itu juga sepakat dan punya concern yang sama,” ungkap Roro kepada VOA, “Jadi, komitmen politiknya sebetulnya ada.”
RUU EBT sejatinya masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020, akan tetapi gagal diselesaikan, sehingga kini masuk ke dalam Prolegnas 2021. Rancangan regulasi itu dilatarbelakangi upaya untuk mempercepat pengembangan energi baru dan terbarukan (renewable energy) untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23% pada tahun 2025, sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), dengan harapan membantu pencapaian komitmen Perjanjian Iklim Paris.
Dalam Perjanjian Iklim Paris 12 Desember 2015, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada tahun 2030 dalam skenario business as usual (BAU) alias secara mandiri, atau 41% dengan bantuan internasional. Perjanjian Iklim Paris lantas diratifikasi DPR dalam UU no. 16 tahun 2016.
Meski demikian, ekonom lingkungan, Andhyta Firselly Utami, khawatir target itu akan menjadi target belaka.
“Policy dan politik harusnya lebih erat berhubungan, karena ketika policynya dibuat tapi tidak mendapat dukungan politik, dalam artian bukan hal yang menjadi urgensi untuk masyarakat atau untuk politisi, akhirnya belum tentu ada political leadershipnya untuk menjadikan ini kenyataan, karena target-target saja kalau tidak konsisten dengan jenis undang-undang yang dikeluarkan, atau tidak konsisten dengan turunan-turunan kebijakannya, jadi hanya sekadar target saja, tidak menjadi perubahan yang nyata,” jelas Afu yang merujuk pada sejumlah undang-undang, seperti UU Minerba yang memudahkan eksplorasi tambang dan UU Cipta Kerja yang dinilai melemahkan proses perlindungan lingkungan, yang keduanya dinilai bertentangan dengan komitmen penanganan krisis iklim.
Sentimen senada diungkapkan pengamat politik UI, Hurriyah, yang menilai komitmen Indonesia baru sampai tahap normatif.
“Kita masih punya persoalan serius dalam komitmen penegakan,” ujarnya. “Bukan hanya dalam isu climate change saja, tapi di banyak isu kecenderungannya memang selalu seperti itu.”
Di sisi lain, Roro menyadari pentingnya dukungan politik untuk merealisasikan target-target penanganan krisis iklim. Namun, bukan perkara mudah meyakinkan para pemangku kepentingan untuk memahami kegentingan krisis iklim.
“Persepsi ini yang selalu kita gaungkan, setiap kali saya bicara juga dengan menteri. Jujur nggak gampang, memperjuangkan keberlanjutan lingkungan atau bahkan mendiskusikan energi terbarukan atau pemungutan pajak karbon, misalnya. Orang-orang yang misalnya berada di industri fossil fuel tentunya tidak akan suka dengan gagasan saya seperti ini,” ungkap Roro.
Analisis ilmiah independen Climate Action Tracker (CAT) mencatat emisi karbon Indonesia tetap dalam tren meningkat pada tahun 2020. Meski sempat turun akibat pandemi Covid-19 dan perlambatan ekonomi, Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang dicanangkan pemerintah dinilai tidak mendukung mekanisme rendah karbon. CAT kemudian memberikan nilai “sangat tidak cukup” bagi Indonesia dalam upaya menekan dampak krisis iklim.
Menurut Afu, yang perlu dilakukan saat ini untuk mendorong perhatian terhadap isu krisis iklim – bukan hanya bagi politikus, tapi untuk semua pemangku kepentingan – adalah mengarusutamakan isu tersebut di muka publik.
“Jadi bagaimana caranya kita mendekatkan urgensi dan isunya secara mudah dicerna dan juga dengan penekanan bahwa dampaknya sudah terasa hari ini, karena kayaknya kadang-kadang masih ada sense bahwa ini bukan isu yang urgent, karena masih ada isu urgent lain yang kita hadapi saat ini. Ini isu yang ‘ya 2030… ya 2029 lah kita pikirin,’ padahal kan sebenarnya trajectorynya sudah ditentukan dari sekarang,” pungkasnya. [rd/em]