JAKARTA —
Hingga saat ini belum ada satupun partai menentukan koalisi menjelang Pemilu Presiden 9 Juli 2014. Menurut Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Hayono Isman, Partai Demokrat akan menentukan sikap setelah hasil konvensi capres Partai Demokrat diumumkan.
Menurut Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, Partai Gerindra tidak ingin koalisi yang terbentuk seperti dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono. Sementara, menurut pengamat politik, Indria Samego, perilaku politik di DPR juga harus diubah agar koalisi berjalan efektif. Hal itu diungkapkan dalam diskusi yang diadakan oleh The Habibie Center di Jakarta hari Rabu (30/4).
Menurut Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Hayono Isman, Partai Demokrat menyadari berbagai pendapat menilai lambatnya penentuan koalisi oleh partai-partai termasuk Partai Demokrat, membuat masyarakat belum memiliki gambaran tentang capres dan cawapres yang akan maju.
Meski demikian diakuinya, Partai Demokrat akan sangat berhati-hati dalam menentukan koalisi, dan keputusan akan diambil setelah hasil konvensi capres Partai Demokrat pada pertengahan Mei mendatang.
“Karena Partai Demokrat tidak meraih 20 persen maka siapapun pemenang konvensi belum tentu menjadi capres atau cawapres dari pada Partai Demokrat, karena Partai Demokrat menginginkan mengajukan capresnya sendiri, maka survei yang dilakukan atas konvensi itu menjadi penting, karena kalau angkanya cukup tinggi bisa memasuki putaran kedua dalam pilpres, itu paling tidak, tapi kalau nanti hasil surveinya peserta survei ini di bawah angka tertentu maka tidak ada gunanya kita mengajukan calon presiden,” papar Hayono.
Sikap hati-hati dalam menentukan koalisi juga disampaikan Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Bahkan ia menegaskan, Partai Gerindra tidak ingin koalisi yang berhasil dibentuk nantinya tidak berjalan efektif seperti terjadi pada koalisi pemerintahan Presiden Yudhoyono. Menurutnya usulan dibentuknya oposisi ramping ditanggapi pesimistis Partai Gerindra karena implementasinya akan sulit.
“Pondasinya harus kuat dan harus besar, betul koalisi ramping itu memungkinkan, prakteknya nanti akan berat, kekuasaan DPR begitu besar hampir tidak ada keputusan pemerintah atau presiden yang tidak mendapat persetujuan DPR, misalnya budget, bagaimana kemudian DPR suaranya lebih menentukan dari pada pemerintah, sehingga koalisi ramping ini disitu promblemnya, kita ini selalu trauma dengan 10 tahun koalisi pemerintahan pak SBY, tidak efektif karena pesiden tidak menggunakan kewenangannya secara penuh dia, presiden tidak bertanggung jawab apa yang terjadi di kementrian misalnya pertanian, di Kementrian Agama, tidak boleh terjadi dalam koalisi 2014, ini yang mau kita bangun,” ujar Muzani.
Pada kesempatan sama, pengamat politik dari The Habibie Center, Indria Samego berpendapat selama ini banyak pihak memberi masukan sebaiknya koalisi dibangun secara kuat karena yang akan dihadapi pemerintah adalah DPR dalam menyusun berbagai kebijakan. Menurutnya perilaku DPR juga harus diubah dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
Indria mengatakan, “Kalau fungsi pengawasan itu efektif yang diawasi adalah seberapa jauh presiden menjalankan visi misi, tentu saja di dalam koridor UUD 45, kalau keluar dari situ baru pengawasan dilakukan, impeachment itu terbuka untuk dilakuakan kalau presiden melakukan pelanggaran, khususnya UUD, maka pengawasan di dewan itu bukan hanya semata-mata karena ini bukan kawan kita tetapi karena memang presiden melakukan sesuatu yang melanggar, ini bisa kita harapkan agar ada perubahan dari perilaku politik di Senayan.“
Menurut Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani, Partai Gerindra tidak ingin koalisi yang terbentuk seperti dalam pemerintahan Presiden Yudhoyono. Sementara, menurut pengamat politik, Indria Samego, perilaku politik di DPR juga harus diubah agar koalisi berjalan efektif. Hal itu diungkapkan dalam diskusi yang diadakan oleh The Habibie Center di Jakarta hari Rabu (30/4).
Menurut Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Hayono Isman, Partai Demokrat menyadari berbagai pendapat menilai lambatnya penentuan koalisi oleh partai-partai termasuk Partai Demokrat, membuat masyarakat belum memiliki gambaran tentang capres dan cawapres yang akan maju.
Meski demikian diakuinya, Partai Demokrat akan sangat berhati-hati dalam menentukan koalisi, dan keputusan akan diambil setelah hasil konvensi capres Partai Demokrat pada pertengahan Mei mendatang.
“Karena Partai Demokrat tidak meraih 20 persen maka siapapun pemenang konvensi belum tentu menjadi capres atau cawapres dari pada Partai Demokrat, karena Partai Demokrat menginginkan mengajukan capresnya sendiri, maka survei yang dilakukan atas konvensi itu menjadi penting, karena kalau angkanya cukup tinggi bisa memasuki putaran kedua dalam pilpres, itu paling tidak, tapi kalau nanti hasil surveinya peserta survei ini di bawah angka tertentu maka tidak ada gunanya kita mengajukan calon presiden,” papar Hayono.
Sikap hati-hati dalam menentukan koalisi juga disampaikan Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani. Bahkan ia menegaskan, Partai Gerindra tidak ingin koalisi yang berhasil dibentuk nantinya tidak berjalan efektif seperti terjadi pada koalisi pemerintahan Presiden Yudhoyono. Menurutnya usulan dibentuknya oposisi ramping ditanggapi pesimistis Partai Gerindra karena implementasinya akan sulit.
“Pondasinya harus kuat dan harus besar, betul koalisi ramping itu memungkinkan, prakteknya nanti akan berat, kekuasaan DPR begitu besar hampir tidak ada keputusan pemerintah atau presiden yang tidak mendapat persetujuan DPR, misalnya budget, bagaimana kemudian DPR suaranya lebih menentukan dari pada pemerintah, sehingga koalisi ramping ini disitu promblemnya, kita ini selalu trauma dengan 10 tahun koalisi pemerintahan pak SBY, tidak efektif karena pesiden tidak menggunakan kewenangannya secara penuh dia, presiden tidak bertanggung jawab apa yang terjadi di kementrian misalnya pertanian, di Kementrian Agama, tidak boleh terjadi dalam koalisi 2014, ini yang mau kita bangun,” ujar Muzani.
Pada kesempatan sama, pengamat politik dari The Habibie Center, Indria Samego berpendapat selama ini banyak pihak memberi masukan sebaiknya koalisi dibangun secara kuat karena yang akan dihadapi pemerintah adalah DPR dalam menyusun berbagai kebijakan. Menurutnya perilaku DPR juga harus diubah dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah.
Indria mengatakan, “Kalau fungsi pengawasan itu efektif yang diawasi adalah seberapa jauh presiden menjalankan visi misi, tentu saja di dalam koridor UUD 45, kalau keluar dari situ baru pengawasan dilakukan, impeachment itu terbuka untuk dilakuakan kalau presiden melakukan pelanggaran, khususnya UUD, maka pengawasan di dewan itu bukan hanya semata-mata karena ini bukan kawan kita tetapi karena memang presiden melakukan sesuatu yang melanggar, ini bisa kita harapkan agar ada perubahan dari perilaku politik di Senayan.“