Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X meyakini kerusuhan yang terjadi di kotanya, Kamis (8/10) petang, telah dirancang. Ketika memberi keterangan kepada media di Yogyakarta, Jumat pagi (9/10), Sultan juga menyampaikan penyesalan karena insiden ini harus terjadi.
Keyakinan Sultan bahwa ada skenario kekerasan yang sudah disusun adalah karena demo mahasiswa, pelajar dan buruh sebenarnya sudah selesai. Sebagian besar pendemo sudah meninggalkan kawasan Gedung DPRD DI Yogyakarta. Namun, kata Sultan, ada sekelompok orang yang tidak mau pergi dari lokasi. Kelompok ini juga terus berupaya melakukan aksi kekerasan dengan merusak fasilitas umum, ketika masuk ke kawasan Kotabaru ketika malam tiba.
“Jadi itu by design, saya yakin. Sehingga sebelum keluar dari Kotabaru pun menghancurkan fasilitas publik. Jadi saya ingin kita pidana, kita tuntut, karena ini by design. Bukan kepentingan buruh. Supaya tidak main-main, karena dia maunya main-main dengan kekerasan, di manapun di provinsi manapun,” kata Sultan.
Kotabaru adalah kawasan kota di sebelah timur area Malioboro yang menjadi pusat bentrokan dan kerusuhan pada Kamis petang (8/10). Sebagian massa, yang diduga bagian dari kelompok pelaku kekerasan ini, bergerak meninggalkan pusat kota sambil melakukan perusakan. Sebagian warga yang tinggal di kampung-kampung sekitar kawasan tersebut, kemudian keluar dan menghalau kelompok tersebut.
Sultan bahkan terlihat geram dengan tindakan kelompok anarkis itu. Dia bahkan mempersilahkan warga untuk melakukan tindakan, dengan koordinasi bersama TNI dan Polisi, jika ada tindak kekerasan dari kelompok ini. Sultan meyakini, karakter warga yang dia pimpin tidak mungkin melakukan kerusuhan seperti yang dilakukan, terutama aksi pembakaran.
Sementara pada Kamis malam (8/10), secara sukarela puluhan warga berkumpul ke lokasi kerusuhan untuk melakukan aksi pembersihan. Komunitas ojek online awalnya menginisiasi gerakan ini, yang kemudian diikuti oleh kelompok masyarakat lain. Seluruh kawasan telah bersih kembali pada pukul 22.30 WIB. Sri Sultan sendiri secara khusus datang untuk mengucapkan terimakasih pada warganya yang berinisiatif melakukan pembersihan titik-titik kerusuhan.
Pertemuan Bersama Ormas dan Akademisi
Hari Jumat sore, perwakilan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) dan sejumlah akademisi bertemu dengan Sultan di Yogyakarta. Pertemuan antara lain membahas situasi terakhir, terutama aksi demonstrasi di Yogyakarta, yang tidak bisa dipisahkan dari kondisi politik nasional.
Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, usai pertemuan, mengatakan, mereka dan Sultan sepakat UU Cipta Kerja prosesnya tidak demokratis.
“Sultan tadi juga sependapat dengan kami, bahasa politisnya, prosesnya tidak demokratis. Tidak ada partisipasi publik di dalam ikut merumuskan RUU ini, itu dipahami oleh beliau. Kami memohon Pak Gubernur, sebagai tokoh nasional bisa mengkondisikan kepolisian di Yogya ini, jangan sampai ada kelompok tertentu menumpangi gerakan demo itu, seakan-akan dibiarkan. Pembiaran itu bisa mengarah ke konflik horisontal,” kata Busyro.
Sementara Wakil Ketua Umum PBNU Maksum Machfoedz meminta semua untuk saling mengapresiasi. Ada tuntunan, kata Maksum, bahwa untuk tujuan yang baik tidak bisa dilakukan dengan cara yang jelek.
Terkait UU Cipta Kerja, sikap NU dan Muhammadiyah sudah jelas. Keduanya telah meminta proses pembahasannya dihentikan sejak beberapa bulan yang lalu. NU, kata Maksum, memandang sosialisasi isi RUU tersebut tidak memadai.
“Dan bagian dari sosialisasi adalah akomodasi terhadap aspirasi publik untu ikut serta membangun produk legal itu secara partisipatif, secara transparan, itu yang tidak terjadi,” kata Maksum.
Polisi Proses Empat Demonstran
Pada Jumat sore (910), polisi menyatakan sepanjang kerusuhan terjadi, telah ditangkap 95 peserta demo. Kasat Reskrim Polresta Yogyakarta, AKP Riko Sanjaya dalam rilis perkara mengatakan, demonstrasi awalnya terpusat di Gedung DPRD DIY. Setelah bentrokan, sebagian massa menyebar dan melakukan aksi kekerasan di titik-titik berbeda. Sebagian dari mereka, bahkan sempat membeli BBM eceran untuk membakar pos polisi. Namun aksi tersebut berhasil dicegah warga.
“Massa demo yang diamankan di Polresta Yogyakarta sebanyak 95 orang, dengan rincian mahasiswa 36 orang, pelajar 32 orang, wiraswasta 16 orang, pengangguran 11 orang. Massa diamankan ke Polresta Yogyakarta semua,” kata Riko.
Karena dalam masa pandemi, polisi kemudian melakukan rapid tes dan menemukan satu orang reaktif, yang kemudian dipulangkan untuk isolasi mandiri sebelum diminta melakukan swab. Sementara sisanya menginap di Polresta Yogyakarta untuk menjalani pemeriksaan. Tiga demonstran juga mengalami luka dan dirawat di RS Bhayangkara.
Dari 95 orang itu, sebagian ditangkap polisi sendiri dan sebagian ada yang diamankan warga untuk kemudian diserahkan ke aparat keamanan. Keputusan untuk memeriksa mereka, kata Riko adalah sebagai upaya mengantisipasi terjadinya gelombang kerusuhan di malam hari.
Dari 95 peserta aksi, hanya empat yang menurut polisi perkaranya dapat dilanjutkan. Sisanya dipulangkan, dengan diserahkan langsung kepada orangtuanya. Sedangkan bagi mereka yang berstatus pelajar, kepala sekolah masing-masing diikutsertakan dalam proses ini, agar dapat dilakukan pembinaan lebih lanjut. Langkah ini diambil karena siswa saat ini mengikuti pembelajaran daring, tetapi terbukti mereka mengikuti demo dengan pakaian sekolah.
“Terhadap empat orang ini, dua orang kita kenakan pasal 170 dan dua orang percobaan pembakaran. Karena dua orang ini membawa bensin dan berniat untuk membakar pos polisi, namun ada bapak-bapak mengingatkan untuk jangan dibakar, kemudian itu tidak terlaksana,” lanjut Riko.
Polisi juga masih melakukan penyelidikan untuk kebakaran restoran Legian, dengan melibatkan tim laboratorium forensik, dari Semarang, Jawa Tengah. [ns/ab]