Paham radikal menjadi topik hangat sejak pemilihan gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta tahun lalu. Isu inilah yang menjadi bahan survei Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) sepanjang 29 September sampai 21 Oktober 2017.
Survei ini dilakukan di seratus masjid di kantor kementerian lembaga negara, dan badan usaha milik negara (BUMN) berlokasi di Jakarta.
Dalam jumpa pers di PBNU hari Minggu (8/7), Ketua Dewan Pengaws P3M Agus Muhammad menjelaskan survei tersebut dilaksanakan di 35 masjid di kementerian 28 masjid di lembaga negara, dan 37 masjid di BUMN. Dia mengakui hasil survei baru bisa dipublikasikan saat ini karena situasi dan kondisi politik sudah memungkinkan.
Agus menambahkan data yang dikumpulkan mencakup khotbah Jumat, buletin, brosur, kalender, dan majalah dinding. Sedangkan metode pengumpulan data dengan cara merekam audio dan video serta mengambil gambar. Namun karena kurang signifkan, akhirnya penelitian difokuskan hanya pada isi khotbah Jumat.
Agus mengatakan tiap Jumat pihaknya menerjunkan seratus relawan ke seratus masjid yang menjadi obyek penelitian. Masing-masing harus merekam audio khotbah Jumat dan video khotbah untuk memastikan rekaman audio dan video sama.
Lebih lanjut Agus mengatakan total rekaman audio khotbah Jumat terkumpul sebanyak 357 dari semestinya 400. Sedangkan rekaman video khotbah Jumat berhasil dikumpulkan sebanyak 274 dari seratus yang seharusnya. Menurut dia, alasan tidak lengkapnya rekaman audio dan video karena alasan keamanan atau dicurigai, alat perekam tidak memadai, posisi tidak memungkinkan, dan terlalu mencolok.
"Dari seratus masjid yang kami survei, sebanyak 41 masjid terindikaasi radikal. Radikal yang kami maksud adalah pemikiran atau gerakan yang menghendaki perubahan secara mendasar, secara fundamental, tanpa mempedulikan kelompok-kelompok lain yang beda," jelasnya.
Agus menambahkan dari 41 masjid terindikasi radikal tersebut, tujuh masjid terpapar radikal tingkat rendah, 17 masjid radikal tingkat sedang, dan 17 masjid lagi radikal tingkat tinggi.
Level radikalisme rendah, Agus mencontohkan mereka tidak menyetujui intoleransi tapi memaklumi. Radikalisme tingkat sedang adalah mereka sudah setuju dengan tindakan-tindakan intoleran. Sedangkan radikalisme tingkat tinggi yakni bukan sekadar setuju atas tindakan intoleran, tapi mereka juga memprovokasi umat agar bertindak intoleran.
Agus menjelaskan ada enam topik radikalisme paling populer dari hasil survei di 41 masjid yang terpapar. Tertinggi adalah ujaran kebencian (60 persen), sikap negatif terhadap agama lain (17 persen), sikap positif terhadap khilafah (15 persen), sikap negatif terhadap minortias (6 persen), kebencian pada minoritas (1 persen), dan sikap negatif terhadap pemimpin perempuan dan non-muslim (1 persen).
Temuan lainnya, menurut Agus isi khotbah mengenai khilafah diulang sebanyak 18 kali di sebelas masjid berada di kantor kementerian dan BUMN. Sedangkan frekuensi ujaran kebencian paling banyak terhadap penganut Katolik (39 persen), orang Yahudi (22 persen), etnis Tionghoa (18 persen), terhadap pemeluk Kristen Protestan (17 persen), dan anti Pancasilan atau Negara Kesatuan Republik Indonesia (4 persen).
Dilihat peta radikalisme, lanjut Agus, masjid paling banyak terpapar radikalisme adalah masjid di kantor BUMN (57 persen). Sedangkan masjid paling moderat terbanyak di kantor lembaga negara (71 persen).
Agus mengatakan kesimpulan dari hasil survei tersebut antara lain tingginya gejala radikalisasi di masjid-masjid kementerian, lembaga negara, dan BUMN menunjukkan pemerintah kurang peduli atas masjid-masjid yang secara struktural di bawah mereka. Dia menekankan temuan ini bersifat indikatif ketimbang konklusif. Karena itu, perlu pendalaman atas hasil temuan ini.
Direktur Rumah Kebangsaan Erika Widyaningsih mengungkapkan alasan penelitian tentang penyebaran radikalisme di masjid adalah pihaknya bersama P3M melihat kekhawatiran masyarakat terhadap maraknya intoleransi.Dia menyesalkan penyebaran bibit radikalisme itu juga terjadi di rumah ibadah.
Menurut Erika, pihaknya mengumpulkan bukti-bukti awal menjadi landasan kenapa penelitian mengenai penyebaran radikalisme melalui masjid perlu dilakukan. Survei ini hanya dengan merekam isi khotbah Jumat di seratus masjid tersebut selama empat kali Jumat.
"Kami harap bisa memberikan satu masukan terutama kepada pemerintah, baik itu di kementerian, lembaga negara, dan BUMN bahwa masih adanya kelonggaran, kurangnya pengawasan, sehingga banyak hal yang terjadi di dalam rumah ibadah," tambahnya.
Erika mengharapkan hasil survei ini dapat menjadi masukan bagi kantor kementerian, lembaga negara, dan BUMN untuk juga melakukan bersih-bersih di rumah ibadah dalam lingkungan mereka
Sebelumnya Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnaen mempertanyakan definisi radikalisme dan intoleransi yang dimaksud.
"Yang kita mau tahu indikasi radikalisme apa. Kalau isme itu kan faham, ditanamkan sejak lama, ga mendadak satu dua hari orang memiliki satu faham. Oleh karena itu seharusnya Majelis Ulama dilibatkan dalam hal ini. Kalau ada apa-apa laporkan ke MUI, kita teliti, kita lihat, sumber dan datanya apa saja. Apa yang menyebabkan mereka tertuduh menganut paham radikalisme," ujarnya.
MUI tambahnya akan meneliti lebih lanjut hal ini. [fw/em]