Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Djayadi Hanan, memaparkan hasil survei dari lembaganya yang menunjukkan mayoritas publik setuju dengan pembatasan investasi asing di sektor pertambangan, penangkapan ikan, sumber daya laut, perkebunan, ekspor margasatwa, perdagangan dan impor sampah.
Hasil survei itu dilakukan dengan wawancara via telepon atas 1.200 responden di empat provinsi, yakni Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara.
"Secara umum sama sikap antiasing cukup tinggi di empat wilayah. Namun, yang agak menarik adalah di wilayah yang SDA-nya tinggi seperti Sumatera Selatan dan Kalimantan Timur, sikap antiasing cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Sulawesi Utara," kata Djayadi, Minggu (8/8).
Djayadi memaparkan dalam surveinya 78 persen publik setuju dengan pernyataan bahwa pemerintah harus membatasi investasi (pemodal) asing untuk sektor pertambangan. Lalu, pada sektor perkebunan 75 persen publik menilai pemerintah harus membatasi investasi asing. Kemudian, 77 persen publik menilai pemerintah harus membatasi investasi asing untuk sektor penangkapan ikan dan sumber daya laut.
Selanjutnya, 75 persen publik setuju dengan pernyataan bahwa pemerintah membatasi investasi asing dalam sektor penangkapan dan ekspor margasatwa. Sedangkan, 69 persen publik menilai pemerintah harus membatasi investasi asing dalam sektor perdagangan dan impor sampah.
"Semakin tinggi SDA kian cenderung tidak menyukai adanya investasi asing di wilayah tersebut," ungkapnya.
Djayadi melanjutkan, ada beberapa alasan para mayoritas responden setuju dengan pembatasan investasi asing. Sebanyak 30 persen beralasan bahwa perusahaan asing bekerja untuk kepentingan mereka sendiri, tidak bekerja untuk kebaikan rakyat Indonesia. Selanjutnya, 27 persen responden percaya Indonesia lebih mandiri jika mengelola SDA secara sendiri.
Lalu, 26 persen beralasan pendapatan Indonesia akan lebih besar jika mengelola SDA secara mandiri. Sedangkan, alasan bahwa perusahaan asing menimbulkan banyak polusi dan korupsi lebih sedikit disebut, masing-masing sembilan persen dan empat persen.
"Isu yang terkait dengan korupsi dan kerusakan lingkungan itu tidak menjadi persoalan utama dalam hal sikap anti terhadap investasi asing," ucapnya.
Dalam survei itu, LSI juga menunjukkan bahwa mayoritas responden menilai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan koperasi warga dinilai paling pantas mengelola SDA.
Pandangan responden bahwa BUMN lebih pantas mengelola usaha SDA pada bidang pertambangan, yakni 44 persen, penangkapan serta ekspor margasatwa 32 persen, dan impor sampah 31 persen. Sedangkan, 38 persen responden menilai koperasi warga paling banyak dinilai cocok untuk mengelola penangkapan ikan dan sumber daya laut.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional, Nur Hidayati, mengatakan hasil survei itu memperlihatkan mayoritas responden yang setuju dengan adanya pembatasan terhadap investasi asing bertentangan dengan posisi pemerintah saat ini.
"Ini agak bertentangan kedua hal ini dengan tendensi pemerintah saat ini yang ingin membuka seluas-luasnya bagi investasi asing. Bahkan untuk alasan ini pemerintah membuat Omnibus Law yang sangat kontroversial," katanya.
Bukan hanya itu, Nur Hidayati juga menilai hasil survei tersebut menunjukkan adanya sentimen terhadap dominasi asing dibandingkan alasan dampak lingkungan dan korupsi.
"Ini lebih kepada alasan-alasan yang bersifat tidak rasional dibandingkan alasan dampak terhadap lingkungan dan korupsi. Dari temuan ini juga ada kontradiksi, ketika publik lebih percaya SDA dikelola entitas dalam negeri. Tapi dari persepsi korupsinya juga tidak berbeda antara dikelola dalam negeri dan asing. Mereka menganggap keduanya memiliki potensi korupsi yang luas," pungkasnya. [aa/em]