Empat organisasi tunanetra di Jawa Barat menyatakan kekecewaannya atas kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat yang tidak menyediakan surat suara braille untuk pemilihan umum 2014 karena dinilai rumit.
Mereka meminta KPU mengevaluasi kebijakan tersebut karena dinilai merugikan kaum tunanetra. Jika kebijakan tersebut tetap dilanjutkan, maka keempat organisasi tunanetra tersebut akan menginstruksikan kepada seluruh penyandang tunanetra se-Indonesia untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu. Pasalnya, tidak tersedianya surat suara braille tersebut dianggap sudah mencabut hak para tunanetra untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.
Keempat organisasi tunanetra tersebut yakni Ikatan Alumni Wyata Guna (IAWG), Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Jawa Barat, Persatuan Olahraga Tunanetra Jawa Barat, dan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kota Bandung.
Ketua umum ITMI, Yayat Ruhiyat mengatakan, penyediaan alat bantu khusus untuk para penyandang disabilitas, salah satunya tunanetra, telah tercantum dalam Undang-Undang Pemilu No.8/2012. Oleh karena itu, jika KPU Pusat tidak menyediakan alat bantu berupa surat suara braille tersebut, ujarnya, maka KPU dianggap telah mencabut hak suara para penyandang disabilitas, khususnya penyandang tunanetra.
“Bahwa KPU ini bukan lagi menodai, tapi justru malah mencabut hak kita, hak kita sebagai warga negara yang mana di situ seharusnya disediakan alat bantu. Dan alat bantu sendiri bukan kita ingin diistimewakan, tapi ini merupakan salah satu konsekuensi yang ada dalam Undang-Undang Pemilu,” ujarnya.
Yayat menambahkan, saat pemilu nanti, KPU akan menyediakan petugas khusus untuk mendampingi pemilih tunanetra, yang juga bisa didampingi orang yang dipercayanya ke bilik suara. Namun, menurut Yayat, upaya pendampingan tersebut bukanlah cara yang tepat.
Jika saat memilih para tunanetra didampingi orang lain, itu jelas sudah melanggar salah satu asas dalam pemilu, yaitu asas rahasia. Yayat mengatakan, pendampingan hanyalah alternatif terakhir setelah alat bantu.
“Pendampingan itu sendiri merupakan salah satu alternatif terakhir daripada alat bantu, ketika ada hal yang lain yaitu template (surat suara braille). Bahkan (pada pemilu) 2004 dan 2009 sudah disiapkan, kenapa sekarang malah dicabut. Jadi jelas, KPU tidak mau bekerja, dalam arti tidak mau bekerja untuk penyandang cacat, khususnya untuk tunanetra,” ujarnya.
Suhendar, ketua Ikatan Alumni Wyata Guna, sebuah yayasan tunanetra di Bandung, mengatakan, pihaknya masih memiliki harapan untuk pemilihan presiden. Ia menaruh harapan pada para calon rakyat dari kaum disabilitas untuk memperjuangkan nasib mereka.
“Sebagai warga negara yang baik, kita mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Makanya harapan itu tetap saja ada. Tahun ini ada beberapa teman kami yang mencoba mencalonkan diri (sebagai wakil rakyat). Dengan harapan tersebut mudah-mudahan nasib para penyandang disabilitas, khususnya tunanetra bisa diperjuangkan,” ujarnya.
Berdasarkan data ITMI, jumlah warga tunanetra di Jawa Barat saat ini sekitar 150 ribu orang. Jumlah tersebut dinilai potensial untuk menentukan seseorang menjadi wakil rakyat.
Mereka meminta KPU mengevaluasi kebijakan tersebut karena dinilai merugikan kaum tunanetra. Jika kebijakan tersebut tetap dilanjutkan, maka keempat organisasi tunanetra tersebut akan menginstruksikan kepada seluruh penyandang tunanetra se-Indonesia untuk tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu. Pasalnya, tidak tersedianya surat suara braille tersebut dianggap sudah mencabut hak para tunanetra untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.
Keempat organisasi tunanetra tersebut yakni Ikatan Alumni Wyata Guna (IAWG), Ikatan Tunanetra Muslim Indonesia (ITMI) Jawa Barat, Persatuan Olahraga Tunanetra Jawa Barat, dan Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Kota Bandung.
Ketua umum ITMI, Yayat Ruhiyat mengatakan, penyediaan alat bantu khusus untuk para penyandang disabilitas, salah satunya tunanetra, telah tercantum dalam Undang-Undang Pemilu No.8/2012. Oleh karena itu, jika KPU Pusat tidak menyediakan alat bantu berupa surat suara braille tersebut, ujarnya, maka KPU dianggap telah mencabut hak suara para penyandang disabilitas, khususnya penyandang tunanetra.
“Bahwa KPU ini bukan lagi menodai, tapi justru malah mencabut hak kita, hak kita sebagai warga negara yang mana di situ seharusnya disediakan alat bantu. Dan alat bantu sendiri bukan kita ingin diistimewakan, tapi ini merupakan salah satu konsekuensi yang ada dalam Undang-Undang Pemilu,” ujarnya.
Yayat menambahkan, saat pemilu nanti, KPU akan menyediakan petugas khusus untuk mendampingi pemilih tunanetra, yang juga bisa didampingi orang yang dipercayanya ke bilik suara. Namun, menurut Yayat, upaya pendampingan tersebut bukanlah cara yang tepat.
Jika saat memilih para tunanetra didampingi orang lain, itu jelas sudah melanggar salah satu asas dalam pemilu, yaitu asas rahasia. Yayat mengatakan, pendampingan hanyalah alternatif terakhir setelah alat bantu.
“Pendampingan itu sendiri merupakan salah satu alternatif terakhir daripada alat bantu, ketika ada hal yang lain yaitu template (surat suara braille). Bahkan (pada pemilu) 2004 dan 2009 sudah disiapkan, kenapa sekarang malah dicabut. Jadi jelas, KPU tidak mau bekerja, dalam arti tidak mau bekerja untuk penyandang cacat, khususnya untuk tunanetra,” ujarnya.
Suhendar, ketua Ikatan Alumni Wyata Guna, sebuah yayasan tunanetra di Bandung, mengatakan, pihaknya masih memiliki harapan untuk pemilihan presiden. Ia menaruh harapan pada para calon rakyat dari kaum disabilitas untuk memperjuangkan nasib mereka.
“Sebagai warga negara yang baik, kita mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Makanya harapan itu tetap saja ada. Tahun ini ada beberapa teman kami yang mencoba mencalonkan diri (sebagai wakil rakyat). Dengan harapan tersebut mudah-mudahan nasib para penyandang disabilitas, khususnya tunanetra bisa diperjuangkan,” ujarnya.
Berdasarkan data ITMI, jumlah warga tunanetra di Jawa Barat saat ini sekitar 150 ribu orang. Jumlah tersebut dinilai potensial untuk menentukan seseorang menjadi wakil rakyat.