Apa pun nama program pengetatan yang diambil pemerintah, hal yang paling penting adalah konsistensi dalam penegakan aturan. Epidemiolog khawatir, tanpa ketegasan dampak yang diharapkan atas pemberlakukan kebijakan tersebut tidak akan tercapai.
Hari Sabtu (3/7) pagi, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berkeliling ke sejumlah pasar untuk memantau Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat. Dari apa yang dilihatnya, Ganjar berkesimpulan belum ada perubahan signifikan terkait perilaku masyarakat meski aturan baru itu telah diterapkan.
"Pagi ini saya melihat pelaksanaan PPKM Darurat yang pertama. Rasa-rasanya belum ada perubahan apa pun, khususnya kalau kita melihat di sekitar keramaian yang hari ini masih berjalan. Tentunya salah satunya, di pasar,” kata Ganjar.
Tentu kondisi ini akan disikapi. Ganjar sendiri langsung berupaya menertibkan kondisi di depan matanya. Namun, agar lebih efektif dia akan meminta seluruh kepala pasar di Jawa Tengah untuk menyiapkan tim jaga. Tim ini bertugas melakukan sosialisasi sekaligus penegakan aturan, karena sebenarnya pasar hanya bisa menerima 50 persen pengunjung, dari kapasitas harian.
Di sejumlah pasar, Ganjar bahkan sempat menyebut akan menutup pasar jika para pedagang dan pengunjung tidak disiplin.
"Kalau saya simpulkan sampai pagi ini belum ada perubahan berarti. Maka kita harus lakukan tindakan yang lebih masif lagi untuk mengedukasi warga. Kita akan evaluasi pelaksanaan dua hari ini, Sabtu-Minggu. Senin kita rapat,” kata Ganjar yang berkeliling dengan sepeda.
Yogya Tidak Banyak Berubah
Sementara itu, pemandangan yang sama juga bisa dilihat di Yogyakarta. Kecuali kawasan Malioboro, berbagai sisi kota tetap memperlihatkan aktivitas yang normal. Di Malioboro, secara khusus memperoleh perhatian, dan karena itu mayoritas pedagang menutup lapaknya. Pusat perbelanjaan juga memutuskan untuk berhenti beroperasi.
Ketua Satgas COVID-19 Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi, menyebut Satgas di tiap kecamatan dan aparat TNI serta POlri aktif turun ke masyarakat untuk mendorong penerapan protokol kesehatan dengan serius.
“Banyak masukan dari masyarakat agar kita lebih represif dengan menjatuhkan denda dan sebagainya, supaya memberikan efek jera kepada masyarakat, bahwa ini harus dilakukan bersama-sama,” kata Heroe.
Dia juga mengatakan, antarkepala daerah di DI Yogyakarta telah melakukan koordinasi agar dapat menetapkan pemberian sanksi yang seragam. Termasuk di dalamnya adalah sanksi secara sosial, agar bisa menjadi pegangan bersama seluruh aparat yang bertugas.
“Kalau aturan umum, kan sudah ada semua, baik denda, sanksi sosial hingga penutupan. Jadi kita tinggal mengaktifkan itu saja, tetapi harus menjadi perhatian bagi semua. Bukan untuk menghukum masyarakat, tapi untuk membuat masyarakat betul-betul sadar, bahwa inilah saat kita menunjukkan, bahwa kita bisa menghentikan sebaran COVID,” tambah Heroe.
Usai pertemuan dengan seluruh kepala daerah di Yogyakarta hari Jumat (2/7), Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X meminta seluruh masyarakat untuk tidak egois. Sikap saling mengerti dan memahami itu penting, untuk mencapai tujuan PPKM Darurat itu sendiri. Karena itulah, semua pihak, mulai dari pengelola tempat wisata, seni budaya, hingga rumah makan harus memahami aturan yang ada.
“Tidak ada pilihan bagi kita untuk menurunkan kasus, kecuali kemauan dari warga masyarakat sendiri untuk mengurangi mobilitasnya yang tidak perlu,” ujar Sultan.
Sultan mengatakan, semua pembatasan yang saat ini diberlakukan, sifatnya sementara. Ada rapat tiga hari sekali untuk memantau perkembangan yang terjadi. Jika memang berhasil, dalam arti kasus dapat ditekan, tentu skemanya akan menjadi lebih kendor.
“Tetapi kendornya itu tetep untuk menjaga kesinambungan, jangan sampai nanti bubrah lagi,” lanjut Sultan.
Sanksi Harus Tegas
Dihubungi VOA, epidemiolog dari Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, dr Budi Laksono bisa memahami bahwa pemerintah tidak bisa menerapkan penguncian sementara atau kuncitara (lockdown). Padahal para pakar wabah sudah meminta penerapan kebijakan itu sejak beberapa waktu yang lalu. Dengan keputusan saat ini, kata Budi, yang bisa dilakukan adalah mengajak masyarakat agar sadar, dan mencegah dirinya tertular serta tidak menulari orang lain.
Karena skemanya tidak lockdown, Budi menyebut hasilnya pun mungkin tidak akan maksimal seperti yang diharapkan.
“Makanya, ketika tidak mampu melakukan lockdown total, pelayanan hospital dan prehospital harus ditingkatkan. Jangan sampai ada masyarakat yang ditolak rumah sakit. Dan yang seperti ini memang perlu waktu banyak, karena penduduk kita 265 juta, sehingga kita harus memakluki ketika pemerintah tidak bisa menerapkan lockdown, seperti di Wuhan, Singapura, atau Malaysia,” kata Budi.
Jika pengetatan tidak disertai konsistensi penerapan sanksi, risiko tentu ada. Salah satunya adalah meningkatkan permintaan layanan terhadap rumah sakit. Strateginya, selain meningkatkan kemampuan layanan, adalah dengan memilih secara cermat, kelompok pasien yang harus dirawat di rumah sakit, dan yang bisa dirawat di pusat isolasi.
“Ini kalau kita tidak bisa mengatasi apinya, kita herus menyiapkan untuk menacmpung asapnya,” ujar Budi.
Edukasi memang bisa diterapkan, tetapi payung hukum yang memberi ruang bagi aparat keamanan untuk lebih kuat memberi sanksi, juga diperlukan. Pada praktiknya, kata Budi, legislasi yang ada tidak mengikuti semangat dari pelaksanaan PPKM itu sendiri. Karena itu, masih diperlukan edukasi dan motivasi bagi masayakat untuk tertib dengan protokol kesehatan.
Sebagai epidemiolog, Budi berharap pemerintah lebih kuat menerapkan sanksi dalam PPKM Darurat kali ini. Meski upaya itu sebaiknya tidak melahirkan gejolak di masyarakat.
“Saya, terus terang dalam konteks epidemiologi, kurang begitu optimis, tetapi kami berharap. Ini adalah yang terbaik, meskipun tidak seperti yang kita harapkan,” pungkasnya. [ns/ah]