Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Namun, wajah Islam selama ini tidak dilihat dari bagaimana kehidupan muslim negara ini, dan toleransi yang diterapkan. Dunia lebih memandang Timur Tengah dengan segala persoalan regional yang dihadapi sebagai wajah dunia Islam.
Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA Staf Khusus Presiden Bidang Agama Tingkat Internasional, melihat fenomena itu dalam bingkai keprihatinan. Menurutnya, Indonesia semestinya tampil ke depan dan memindah wajah dunia Islam itu ke Nusantara. Tantangannya, di tingkat lokal sendiri, agama kadang masih dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok dan jangka pendek. Misalnya dalam isu-isu terkait politik, kepartaian dan kontestasi yang menyertainya.
Siti menyampaikan itu Selasa siang (17/7), ketika menjadi pembicara utama dalam Simposium Nasional Sosiologi Agama. Simposium ini dihadiri akademisi dan peneliti bidang sosiologi agama dari 15 perguruan tinggi Islam se-Indonesia, dan diselenggarakan selama tiga hari di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Lebih jauh Siti menyatakan, yang dibutuhkan Indonesia untuk menjadi representasi wajah Islam saat ini adalah kepercayaan diri. “Sekarang ini kita bisa melihat bahwa yang paling kokoh itu Indonesia, dalam kaitan konflik. Kita bisa melihat konflik dan ketegangan di Timur Tengah seperti itu. Sekarang sebenarnya mata dunia itu melihat ke Indonesia, bagaimana Indonesia mampu mengelola keberagaman. Jadi, Indonesia harus muncul dan menjadi representasi dari negara Islam yang damai.”
Siti menambahkan, Presiden Jokowi sendiri berkeinginan Islam Nusantara yang berkemajuan diterapkan di Indonesia. Ini adalah konsep yang dimiliki dua organisasi muslim terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Utama dan Muhammadiyah.
Tantangan besar menanti Indonesia, lanjut Siti, yaitu mengisi kekosongan representasi Islam yang damai. Selama ini representasi itu terkoyak oleh konflik yang terus terjadi di Timur Tengah. Indonesia berpeluang menjadi negara dengan praktik terbaik dalam program-program yang diterapkan untuk melawan tindak intoleran.
“Kalau kita bicara tentang pelaksanaan HAM yang terbaik di negara mayoritas muslim, ya adanya di Indonesia. Tidak ada lagi negara lain yang bisa dijadikan contoh. Kalau di dunia internasional kita dikenal, maka ke dalam negeri itu akan melahirkan kepercayaan diri yang tinggi. Kepercayaan diri terhadap ke-Islaman masyarakat Indonesia sehingga tidak perlu meniru budaya dari muslim di negara lain,” lanjut Siti yang juga duduk di Komisi HAM Organisasi Negara-Negara Islam (OKI).
Prof. Dr. Phil. Al Makin, S.Ag., MA, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga menegaskan bahwa agama-agama terus berproses dalam mencari kebenaran baru. Tantangan bagi para akademisi adalah menciptakan tempat bagi proses kritik terhadap agama, sehingga ajarannya menjadi budaya dan peradaban tidak berhenti sebagai agama saja. Indonesia memiliki harapan besar menjadikan agama dalam konsep semacam itu.
Untuk berperan di tingkat global, muslim di Indonesia memiliki tantangan untuk menunjukkan identitas kebudayaan lokal yang lebih kuat. Tidak perlu menerapkan identitas global, karena akan cenderung melahirkan radikalisme. Al Makin meyakinkan kepada muslim Indonesia, yang terbaik adalah kembali mengenakan identitas lokal, misalnnya sebagai warga NU atau Muhammadiyah.
“Umat Islam yang tidak mengenal identitas lokal, menjadi global ummat. Islam sebagai satu kesatuan yang memiliki solidaritas global dan tidak mengenal batas. Dalam istilah Kyai Said Agil Siradj, itu yang disebut trans nasional. Dan Ini yang melahirkan jihad, radikalisme dan fundamentalisme. Maka kalau kita kembali ke jati diri, ke NU dan Muhammadiyah, kita akan melahirkan obatnya, bahwa Islam itu punya identitas lokal,” jelasnya.
Identitas lokal yang dipaparkan Al Makin itu belakangan menjadi isu besar, terutama di kalangan muslim. Beberapa pokok isunya adalah tentang cara berbusana, tampilan fisik, hingga bahasa yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, NU melahirkan Islam Nusantara dan Muhammadiyah memaparkan konsep "Islam Berkemajuan" untuk menjawab kecenderungan sebagian muslim yang mencoba menerapkan fundamentalisme.
Indonesia juga memiliki tantangan untuk mendefinisikan kembali keberagaman. Dalam persoalan terkait agama, sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, perlu dikritisi karena beberapa agama di Indonesia tidak mengenal satu Tuhan. Al Makin sendiri telah melakukan penelitian mendalam dan menemukan fakta bahwa di Indonesia sendiri adalah lebih dari 1.300 agama di samping enam agama yang diakui secara resmi.
“Bangsa kita itu sangat fleksibel. Dulu kita beragama Hindu, kemudian konversi ke Budha. Setelah itu memeluk Islam dan juga sebagian Kristen. Itu menunjukkan bahwa bangsa kita itu fleksibel dalam memegang iman,” lanjut Al Makin. [ns/ab]