Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Sabtu (3/6) menggerebek kampus Universitas Riau di kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Polisi melakukan penggeledahan selama dua jam di gedung gelanggang mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Dari lokasi penyisiran, polisi menemukan barang bukti dua bom pipa besi, bahan peledak jenis TATP siap pakai, bahan peledak lain, yakni pupuk KN03, sulfur, gula dan arang. Polisi juga menyita satu senapan angin, satu granat tangan, serta satu busur dan delapan anak panah.
Di lokasi, polisi membekuk tiga terduga teroris, yakni MNZ, RB alias D, dan OS alias K. MNZ merupakan lulusan FISIP Universitas Riau pada 2003, D lulusan jurusan Administrasi Negara pada 2001, dan K alumni Ilmu Komunikasi pada 2013.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Muhammad Iqbal pada Minggu (3/6) menjelaskan polisi sudah menetapkan MNZ sebagai tersangka, sedangkan D dan K masih berstatus saksi.
"Kesimpulannya adalah kita menemukan benang merah, ada koneksi, ada beberapa petunjuk yang sangat kuat bahwa kelompok ini akan melakukan aksinya di DPR Ri dan DPRD Provinsi Riau," ungkap Iqbal.
Iqbal bersyukur polisi berhasil mencegah ketiga terduga teroris itu melaksanakan serangan terhadap gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Riau di Pekanbaru. Ditambahkannya, 95 persen operasi penanganan terorisme itu adalah operasi intelijen. Setelah melakukan pengintaian dan pengumpulan informasi selama dua bulan, lanjut dia, baru penggeledahan dilakoni di kampus Universitas Riau.
Baca juga: Pemerintah Perlu Berantas Ajaran Ekstremisme di Sekolah dan Masjid
Menurut Iqbal, penggrebekan dilaksanakan setelah polisi memperoleh bukti cukup kuat. Dia menekankan adalah sebuah kebetulan ketiga terduga teroris tersebut merupakan alumni Universitas Riau dan merakit bom di dalam kawasan kampus.
Badan Nasional Penanggulangan Teorirsme (BNPT) pernah menyebut ada tujuh perguruan tinggi negeri terpapar radikalisme, yakni Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Institut Teknologi Sepuluh November.
Namun, Iqbal juga menegaskan ketiga terduga teroris tersebut kebetulan saja menggunakan kampus sebagai lokasi persembunyian dan persiapan untuk melaksanakan serangan teror. Dia mengatakan ketiga terduga teroris itu memilih kampus untuk menghindari pengawasan aparat keamanan.
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib mengakui inilah kali pertama terduga teroris menggunakan wilayah kampus untuk menyimpan, merakit, dan mempersiapkan serangan teror. Dia ingat pada 2011, aparat keamanan menemukan persenjataan di kawasan hutan dalam areal kampus Universitas Indonesia.
Lebih lanjut Ridlwan mengungkapkan kejadian di Universitas Riau merupakan peringatan bahwa kelompok teroris mulai menjadikan wilayah kampus sebagai tempat aman untuk merencanakan sekaligus mempersiapkan aksi mereka. Menurutnya, peringatan soal ada tujuh perguruan tinggi terpapar radikalisme jangan sampai memicu kepanikan. Sebab radikalisme tidak selalu berujung pada tindakan terorisme.
"Saya kira radikalisme dalam konteks memahami ideologi agama, mempelajari ideologi agama sampai ke akar-akarnya, itu baik-baik saja, tidak ada masalah. Tapi radikalisme yang kemudian membolehkan serangan, mengizinkan pengeboman, mengizinkan serangan kepada umat agama lain, itu yang nggak boleh, dan itu harus ditangkap," tukas Ridlwan.
Sementara itu, menjawab kritik sebagian orang tentang masuknya aparat keamanan ke dalam kampus dengan persenjataan lengkap, Iqbal menegaskan terorisme adalah kejahatan luar biasa sehingga harus ditangani dengan cara istimewa, terlebih karena teroris adalah orang-orang siap mati.
Ditambahkannya, Detasemen Khusus 88 Antiteror memiliki prosedur standar yang mengharuskan mereka masuk ke Universitas Riau dengan bersenjata lengkap karena kondisinya memang mengharuskan seperti itu. [fw/em]