Di Pagoda Su Taung Pyai di Pegunungan Mandalay, seorang turis Tionghoa melakukan doa penyucian diri. Tiongkok merupakan investor Burma terbesar, dan di kota terbesar kedua di negara itu warga mengatakan gelombang masuknya imigran Tionghoa sekarang mendominasi pusat kota yang sibuk itu.
Mantan sekretaris jenderal Assosiasi Pedagang Mandalay, Sai Kyai Zaw, mengatakan, pebisnis Burma tidak lagi bisa bersaing.
Ia mengatakan, tujuh puluh lima persen bisnis di sini adalah investasi Tiongkok baik secara legal ataupun gelap. Itu jelas terlihat setelah Mandalay dibumihanguskan oleh kebakaran hebat tahun 1985. Kebanyakan orang Tionghoa bisa sgera membangun lagi rumah mereka dengan dukungan dari Pemerintah Tiongkok. Setelah itu, seluruh wilayah pusat kota Mandalay menjadi Pecinan.”
Di luar Mandalay, perusahaan Tiongkok yang sedang membangun pipa-pipa minyak dan gas menimbulkan kontroversi di wilayah pedesaan itu.
Fasilitas itu akan mengalirkan minyak dan gas domestik dan juga mengalirkan minyak dari kapal-kapal tanker yang datang dari Timur Tengah dan Afrika yang melewati Teluk Benggala.
Sekelompok investor asing mendukung proyek itu tetapi kebanyakan dananya berasal dari Tiongkok. Begitu juga kebanyakan pekerjanya, terkenal dengan pakaian kerja mereka yang berwarna merah.
Pekerja setempat bisa memperoleh sekitar 250 dolar sebulan kata supir buldozer Ko Hla Maung.
Ia mengatakan tidak mengetahui tentang rincian proyek itu. Ia hanya datang dan bekerja di sana dengan upah harian.
Walaupun proyek itu menciptakan lapangan kerja, sebagian pemilik tanah berkeberatan.
Para biksu di Biara Asia A Linn Yaung di kota Pyin Oo Lwin pada awalnya tidak diberi ganti rugi sedikitpun atas tanah yang diambil proyek itu, sampai media massa melaporkan keluhan mereka. Biksu senior U Sein Di Tha mengatakan para petani setempat terlalu takut bersuara.
Ia mengatakan, pemerintah akan mengambil tanah mereka dan melanjutkan pembangunan pipa-pipa itu apakah mereka setuju atau tidak. Itulah sebabnya mereka berusaha mendapat ganti rugi yang memuaskan. Tidak seorang pun mau menyerahkan tanah mereka.
Untuk memenangkan kecaman warga setempat, Perusahaan Minyak Nasional Tiongkok menyumbang beberapa juta dolar untuk membangun klinik-klinik kesehatan baru, sumur-sumur, dan sekolah-sekolah.
Di desa Hman Pin, sebuah sekolah baru bagi 300 siswa disambut baik oleh kepala desa Hla Myint.
Ia mengatakan gembira punya sekolah baru di desanya karena tidak mungkin membangunnya dengan uang mereka sendiri. Sekolah yang lama sudah lebih dari 40 tahun dan kondisinya sangat buruk.
Para insinyur mengatakan pemasanganpipa-pipa itu akan selesai tahun depan. Proyek pembangunan besar Tiongkok itu menciptakan lapangan kerja dan juga menimbulkan perasaan bercampur baur di kalangan warga Burma.
Mantan sekretaris jenderal Assosiasi Pedagang Mandalay, Sai Kyai Zaw, mengatakan, pebisnis Burma tidak lagi bisa bersaing.
Ia mengatakan, tujuh puluh lima persen bisnis di sini adalah investasi Tiongkok baik secara legal ataupun gelap. Itu jelas terlihat setelah Mandalay dibumihanguskan oleh kebakaran hebat tahun 1985. Kebanyakan orang Tionghoa bisa sgera membangun lagi rumah mereka dengan dukungan dari Pemerintah Tiongkok. Setelah itu, seluruh wilayah pusat kota Mandalay menjadi Pecinan.”
Di luar Mandalay, perusahaan Tiongkok yang sedang membangun pipa-pipa minyak dan gas menimbulkan kontroversi di wilayah pedesaan itu.
Fasilitas itu akan mengalirkan minyak dan gas domestik dan juga mengalirkan minyak dari kapal-kapal tanker yang datang dari Timur Tengah dan Afrika yang melewati Teluk Benggala.
Sekelompok investor asing mendukung proyek itu tetapi kebanyakan dananya berasal dari Tiongkok. Begitu juga kebanyakan pekerjanya, terkenal dengan pakaian kerja mereka yang berwarna merah.
Pekerja setempat bisa memperoleh sekitar 250 dolar sebulan kata supir buldozer Ko Hla Maung.
Ia mengatakan tidak mengetahui tentang rincian proyek itu. Ia hanya datang dan bekerja di sana dengan upah harian.
Walaupun proyek itu menciptakan lapangan kerja, sebagian pemilik tanah berkeberatan.
Para biksu di Biara Asia A Linn Yaung di kota Pyin Oo Lwin pada awalnya tidak diberi ganti rugi sedikitpun atas tanah yang diambil proyek itu, sampai media massa melaporkan keluhan mereka. Biksu senior U Sein Di Tha mengatakan para petani setempat terlalu takut bersuara.
Ia mengatakan, pemerintah akan mengambil tanah mereka dan melanjutkan pembangunan pipa-pipa itu apakah mereka setuju atau tidak. Itulah sebabnya mereka berusaha mendapat ganti rugi yang memuaskan. Tidak seorang pun mau menyerahkan tanah mereka.
Untuk memenangkan kecaman warga setempat, Perusahaan Minyak Nasional Tiongkok menyumbang beberapa juta dolar untuk membangun klinik-klinik kesehatan baru, sumur-sumur, dan sekolah-sekolah.
Di desa Hman Pin, sebuah sekolah baru bagi 300 siswa disambut baik oleh kepala desa Hla Myint.
Ia mengatakan gembira punya sekolah baru di desanya karena tidak mungkin membangunnya dengan uang mereka sendiri. Sekolah yang lama sudah lebih dari 40 tahun dan kondisinya sangat buruk.
Para insinyur mengatakan pemasanganpipa-pipa itu akan selesai tahun depan. Proyek pembangunan besar Tiongkok itu menciptakan lapangan kerja dan juga menimbulkan perasaan bercampur baur di kalangan warga Burma.